Hari ini demikian terik. Mentari menguapkan segala apalagi cuma udara, sehingga membuat semakin humid yang melambungkan kandungan uap air kelevel terjenuh. Aku masih menunggu entah, mematung dimuka kaca pintu keluar bank. Aku menanti hati mungkin, buat meretas langkah sepatuku yang ragu.
Pintu utama bersensor terbuka, panas luarnya menerpa. Pelan beringsut menjejak pintu kukenakan kaca mata hitamku meredam pendar.
"Selamat siang pak!" sekuriti berhormat.
"Car call, supir!" satunya memerintah tergopoh.
"Tidak!" aku menggeser telapak tangan.
"Siap!"
Siang yang sunyi, bisa kudengar suara mesin kendaraan lewat dijalan utama. Tak seperti lajimnya. Kutatap teliti kesekitar. Bahkan pak ogah tikungan tak tampak, begitu tukang gorengan di pojok sirna pula. Si gondrong, tukang parkir tembak sama halnya, tak terlihat batang hidungnya. Hanya bang Rojak, juragan warteg terkantuk kantuk dilebar bangku panjangnya.
Sepi nian.
"Dua menit lagi" aku mengerling arlojiku, lalu melangkah turun dan menyeberang. Kuremas erat tali tas tanganku meneguhkan. Hanya semenit aku sudah merapat dimeja panjang warteg Rojak. Dia tampak terkejut melihatku.
"Mangga, pak. Wahduh.. tumben atuh.. bade tuang menawi.." Rojak membungkukkan badannya berulang, menawarkan makan dan menyilakanku duduk.
"Minum saja" kataku berwibawa.