Pagi ini papi masih budeg. Let dua pekan ini pendengaran papi on-off. Â Kadang pekak kadang waras, enggak tentu. Â Hanya saja enggak tentatif kayak kemarin, kali ini congeknya bergeming dari semalem, membuat tidurnya runyam. Â Selain budeg papi juga tidak bisa bicara alias bisu. Kedua rahangnya terkatup lekat.
Bisu tuli yang terawet sepekan ini, keruan membuat senewen Joko dan Bowo, kedua anak lelakinya. Mereka syak, jangan jangan papi budeg dan bisu permanen, ditambah ihwal usia papi yang telah pula wreda. Â Mereka juga enggak kepingin papi nantinya macam bolot, ditanya A jawabnya B. Untuk itu mereka berniat membawanya ke spesialis telinga, hidung, tenggorokan.
Walaupun kerap berbeda pandang Joko dan Bowo selalu sejalan mengopeni papi, jangankan sakit tulalit, keluhan penyakit ece ece, respon kakak beradik ini boleh ditakar. Joko yang pemangku negri dan Bowo yang saudagar, solid memboyong papinya ke rumah sakit.
Seperti pagi ini, keduanya ambil cuti demi papi mereka. Berangkat bersama ke rumah sakit.
"Bapak test audiometri, ya" dokter memerintah sehabis menelisik kedua kuping papi, tapi tentu saja papi enggak dengar. Joko dan Bowo memberi bahasa isyarat membuat  papi mengangguk tanda bisa konek.
Terus mereka berdua menggandeng papi masuk kekamar audiometri, yaitu kotak kayu yang hanya muat satu orang dengan kursi dan meja yang dilengkapi tombol, lampu indikator dan head set.
Serampungnya, ketiga anak beranak kembali keruang dokter spesialis indra tht ini guna mendapat feedback.
"Kelihatannya rapopo ini, mas" dokter melirik Joko dan Bowo bergantian, karena percuma komunikasi verbal sama papi si penderita.
"Maksudnya dok?" Joko en Bowo berbarengan ingin tahu.
"Infeksi tidak ditemukan, tensi normal, kolesterol aman. Jadi saya tak mendapati kelainan nih, ya mas Joko, mas Bowo"dokter menjelaskan.
"Lalu apa advis dokter?"