Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Stasiun Purworejo, Saksi Bisu Kejayaan Kolonial Belanda

20 Juni 2016   16:25 Diperbarui: 21 Juni 2016   10:32 1891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stasiun Purworejo yang tetap kokoh (foto: dok pri)

Kendati sekarang sudah tak beroperasi, namun, Stasiun Kereta Api Purworejo yang telah berusia 129 tahun, ternyata masih berdiri kokoh. Saksi bisu kejayaan pemerintah kolonial Belanda tersebut, tetap terawat dan terjaga sehingga setiap saat bisa dikunjungi siapa pun.

Stasiun Purworejo yang dulunya menjadi sarana pendukung pergerakan militer pasukan Belanda, awalnya dibangun demi dua kepentingan. Yakni ekonomi dan militer, mengingat Kabupaten Purworejo merupakan daerah pertahanan militer yang posisinya sangat strategis. Cikal bakal berdirinya stasiun ini, sebenarnya dirintis oleh perusahaan kereta api (kala itu) yang bernama Statts Spoorwagen (SS).

Sebelum stasiun itu dibangun, sebelumnya Kabupaten Purworejo sudah memiliki stasiun besar yang terletak di Kecamatan Kutoarjo atau berjarak 12 kilometer dari pusat kota Purworejo. Sesuai sejarah yang tertulis di salah satu ruangan stasiun, awalnya pemerintah kolonial Belanda hanya membangun jaringan rel kereta api dari Kutoarjo. Karena pertimbangan angkutan darat melalui jalan umum kerap mengalami  gangguan keamanan, akhirnya tanggal 20 Juli 1887 dibangunlah sebuah stasiun dengan tembok beton.

Loket penjualan ticket (foto: dok pri)
Loket penjualan ticket (foto: dok pri)
Keberadaan stasiun di era pemerintahan kolonial, terbukti sangat menguntungkan kaum penjajah. Sebab, berbagai hasil bumi di perkebunan- perkebunan yang ada di Purworejo bisa diangkut dalam jumlah besar menuju pelabuhan Cilacap. Selanjutnya, suka- suka Belanda mengirimnya. Sementara di sisi lain, pergerakan pasukan militer juga leluasa. Sebab, bila menggunakan truck memiliki keterbatasan kapasitas, maka dengan gerbong mampu terangkut satu batalyon di waktu yang sama. Kebetulan, paska peperangan melawan Pangeran Diponegoro tahun , masih banyak sisa laskar yang melakukan gerilya.

Dalam menghadapi perang melawan Pangeran Diponegoro, pihak Belanda memang terkuras tenaga dan biaya. Pasukan pemerintahan kolonial banyak yang meregang nyawa akibat digerilya laskar, terkait hal itu, belakangan direkrut prajurit- prajurit berkulit hitam asal Afrika. “ Tentara kulit hitam itu disebut sebagai londo ireng (Belanda hitam),” kata salah satu karyawan PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang bertugas menjaga stasiun Purworejo.

Tetap terawat & terjaga (foto: dok pri)
Tetap terawat & terjaga (foto: dok pri)
Masuk Cagar Budaya

Para prajurit kulit hitam yang di negeri asalnya didera kemelaratan akut, oleh pihak Belanda diberi fasilitas yang sangat layak. Mereka di tempatkan di barak-barak yang lokasinya sangat strategis dengan tujuan, setiap saat bisa digerakkan. Sampai sekarang, di dekat RSUD Kabupaten Purworejo masih terdapat dua jalan bernama Afrikan I dan II. Sayangnya, rumah- rumah yang pernah ditinggali serdadu hitam itu sudah banyak yang raib berganti bangunan baru.

Kembali ke Stasiun Purworejo yang terletak di Jalan Mayjen Sutoyo, mungkin hanya satu- satunya stasiun di Indonesia yang memiliki sinyal tunggal, yakni sinyal keluar. Pasalnya, sinyal masuk memang tidak dibutuhkan, karena stasiun ini jalurnya buntu. Cuma mengarah ke stasiun besar Kutoarjo, sedang jalur lainnya tidak ada. “ Paska kemerdekaan, stasiun ini sempat ditutup empat kali. Masa penjajahan Jepang, saat peralihan menjadi Djawatan Kereta Api dan tahun 1977. Sempat dihidupkan di tahun 1990 an, sekarang tutup lagi,” ungkapnya.

Handle sinyal tunggal di stasiun Purworejo (foto: dok pri)
Handle sinyal tunggal di stasiun Purworejo (foto: dok pri)
Seperti galibnya alat transportasi massal saat itu, jalur Purworejo- Kutoarjo dilayani dengan lokomotif uap yang menarik kereta penumpang dan barang. Dengan urutan kereta meliputi kereta kayu CR, kereta kayu CR , kereta barang GW serta kereta barang GW.  Ada pun lokomotifnya dua unit yaitu seri C27 buatan pabrik Werkspoor tahun 1920, sedang satunya seri D 51 buatan pabrik Hartmann tahun 1920. Baru di tahun 1990 an, lokomotif uap ditiadakan diganti lokomotif diesel.

Saat ini, Stasiun Purworejo sudah tak difungsikan lagi, kendati wacana untuk menghidupkan terus bermuculan. Namun, sepertinya hal tersebut sulit direalisasi mengingat saat ini transportasi darat jumlahnya sangat banyak, ditambah hampir setiap keluarga memiliki kendaraan pribadi. Terlepas bakal aktif atau tidak, tetapi pihak PT KAI layak diapresiasi karena mampu merawat dan menjaga stasiun yang secara resmi termasuk bangunan cagar budaya yang hukumnya wajib dilindungi.

Plakat cagar budaya (foto: dok pri)
Plakat cagar budaya (foto: dok pri)
Berdasarkan data yang ada, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah telah menetapkan Stasiun Purworejo sebagai cagar budaya dengan nomor inventarisasi : 11-06/PWO/TB/36 dan dikuatkan oleh surat penetapan Pemerintah Kabupaten bernomor 11-06/Pwr/TB/8. Sementara pengelolaannya berada di bawah PT KAI Daerah operasi 5 Purwokerto. Sedang pemugaran namun tak merubah bentuk aslinya sedikitnya sudah dilakukan dua kali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun