Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Politik featured

Begini Alur "Money Politics" di Pilkada

31 Juli 2015   16:39 Diperbarui: 5 Desember 2016   15:28 3302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi: tribunnews.com)

Dalam Pilkada Serentak maupun tak serentak, istilah politik uang lazim disebut sebagai money politics, bukan merupakan barang baru. Semenjak pemilihan dilakukan secara langsung, praktis hampir 90-an persen pasangan calon (Paslon) kepala daerah bakal melakukannya. Pertanyaannya, bagaimana hal itu dijalankan? Berikut sedikit catatan saya.

Pada perhelatan Pilkada (khususnya Kabupaten/Kota) nyaris selalu diwarnai isu adanya politik uang terhadap pemenangnya. Kendati dalam gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) Paslon yang kalah selalu menyebut bahwa politik uang terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif, namun pembuktian di lapangan sangat sulit. Memang, politik uang mirip kentut. Aromanya menyengat, tapi susah dilihat wujudnya.

Ketika era Pilkada langsung mulai digelar di tahun 2005 lalu, para penentu kebijakan Republik ini berpikirnya sederhana. Selain agar seorang kepala daerah lebih legitimit karena rakyat memilihnya secara langsung, juga untuk meminimalisasi politik transaksional dengan para wakil rakyat. Sayang, dalam perjalanannya, cita-cita mulia tersebut keliru adanya. Sebab, politik uang selalu dan selalu terjadi di berbagai daerah.

Seperti galibnya seseorang yang memenangkan pertarungan Pilkada, sangat dipastikan ia maupun tim suksesnya akan membantah mati- matian adanya tudingan politik uang. Seakan, kemenangannya akibat tingginya kapabilitas, elektabilitas serta buah kerja keras tim suksesnya. Hal ini wajar adanya, sebab, tak ada maling yang mengakui perbuatannya selama belum tertangkap tangan.

Dalam menghadapi Pilkada, setiap Paslon pasti memiliki tim sukses dengan tupoksinya masing-masing. Karena fokus bahasan ada di politik uang, maka tak bijak bila semisal mengupas keberadaan tim sukses keseluruhan. Di sini, kita tetap terkonsentrasi pada transaksi jual-beli suara yang cenderung tidak pernah diakui.

Tim sukses Paslon yang terorganisir, biasanya terdiri atas pengendali yang bermarkas di markas (Kabupaten/Kota). Adapun jaringan di bawahnya adalah koordinator kecamatan yang biasanya diisi dari aktivis partai politik pengusung. Selanjutnya, koordinator kecamatan memiliki jaringan yang terdiri atas koordinator desa/kelurahan yang mempunyai tugas penuh mengendalikan ujung tombak di tingkat RW maupun RT.

Dalam manajemen politik uang, terdapat dua strategi yang bisa dilaksanakan Paslon. Pertama memberikan bantuan langsung ke masyarakat berupa sembako, perabotan atau barang-barang yang bisa dijadikan inventaris RT/RW maupun PKK hingga biaya renovasi tempat ibadah maupun sarana lainnya. Tentunya berbagai bantuan itu akan direalisasikan bila ada pengurus RT/RW atau ketua PKK yang bersedia menjamin suara warga setempat akan diarahkan ke Paslon yang memberinya.

Adapun strategi kedua adalah pemberian uang tunai langsung kepada konstituen yang eksekusinya dilakukan oleh eksekutor lapangan. Sampai sekarang, cara ini masih efektif dipergunakan baik di Pilkades, Pileg dan Pilkada. Untuk mengeksekusi suara, meski hanya berjumlah 30 hingga 50 suara, perlu perhitungan yang matang. Sebab, salah pilih ujung tombak, bisa-bisa Paslon sendiri yang terkena eksekusi.

Identifikasi, Verifikasi & Eksekusi

Ujung tombak, biasa disebut sebagai eksekutor lapangan, sebenarnya tugas khusus, yakni merekrut para pendukung lapis bawah. Baik untuk kepentingan kampanye, maupun memilih Paslon yang ia dukung. Tak sembarangan dirinya dalam bergerak, sebab, oleh tim sukses tingkat kabupaten/kota sebelumnya telah dibekali strategi identifikasi target.

Identifikasi ini meliputi strategi memetakan suara dukungan di tingkat RT/RW, mendeteksi masa mengambang meliputi 3 tipe pemilih, yaitu pemilih pragmatis. pemilih realistis, dan pemilih apatis. Semisal tidak mempunyai jalinan kekerabatan, eksekutor lapangan diperintahkan fokus membidik pemilih pragmatis. Sedang yang lainnya diabaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun