Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sudarsih, Perempuan Desa Penyambung Asa

18 Desember 2018   15:04 Diperbarui: 19 Desember 2018   00:41 959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sudarsih, perempuan bersahaja yang peduli dengan pendidikan (foto: dok pri)

Sudarsih (42) warga Dusun Bawang RT 4 RW 5, Desa Tukang, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang hanyalah seorang perempuan yang tinggal di ujung dusun. Kendati begitu, keinginannya untuk memajukan masyarakat dalam hal pendidikan layak diapresiasi. Seperti apa kiprahnya, berikut penelusurannya.

Untuk menemui Sudarsih yang kesehariannya bekerja di SMP Negeri 3 Pabelan, dari Kota Salatiga harus menempuh perjalanan sekitar 15 kilometer. Kendati begitu, karena memang rumahnya berada di pelosok, perbatasan dengan Kecamatan Suruh, maka agak sulit menemukan kediamannya yang juga difungsikan menjadi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Mitra Harapan.

Melalui jalan yang sempit, bahkan saat berpapasan dengan mobil pun salah satu harus mengalah, ditambah bertanya ke warga sedikitnya empat kali, akhirnya Selasa (18/12) siang, saya berhasil tiba di rumah Sudarsih. Kebetulan, dirinya sudah berada di rumah. Ia menyambut tamunya dengan ramah, seperti galibnya warga pedesaan.

Rumah sekaligus markas PKBM Mitra Harapan (foto: dok pri)
Rumah sekaligus markas PKBM Mitra Harapan (foto: dok pri)
Kendati Dusun Bawang relatif tak jauh dari ibu kota kecamatan, namun, karena lokasinya berada paling pojok, maka ekonomi masyarakatnya bisa disebut kurang beruntung. Di mana, selain bertani, banyak warganya yang menggantungkan hidup menjadi perajin keranjang ikan asin yang bayarannya sangat minim. Sebab, 125 biji keranjang, hanya dihargai maksimal Rp 10.000.

Jauhnya lokasi dusun dengan akses pendidikan, 10 tahun yang lalu membuat angka putus sekolah sangat tinggi. Pasalnya, transportasi umum tak menjangkau wilayah ini. Satu- satunya angkutan umum yang tersedia hanyalah jenis mini bus atau station plat hitam. Jadualnya juga tidak menentu, kadang ditunggu satu jam belum juga kelihatan.

Di rumah sekaligus markas PKBM Mitra Harapan, puluhan peserta kejar paket A, B dan C terlihat sibuk belajar di rumah besar yang disulap menjadi tempat ajar mengajar. 

Usia siswa didiknya bervariasi, mulai 15 tahun hingga 50 an tahun. " Untuk Kejar Paket A berlaku bagi siswa yang ingin mendapatkan ijasah kesetaraan tingkat SD, Kejar Paket B untuk SMP dan Kejar Paket C berlaku bagi siswa setara SMA," jelas Sudarsih.

Suasana belajar di PKBM Mitra Harapan, tua muda campur jadi satu (foto: dok pri)
Suasana belajar di PKBM Mitra Harapan, tua muda campur jadi satu (foto: dok pri)
Saat ini, PKBM Mitra Harapan yang dikelola Sudarsih memiliki siswa kejar paket sebanyak 420 orang , terdiri atas kejar paket A,B dan C. Tetapi bila ditotal keseluruhan dengan kegiatan lainnya, seperti PAUD, berbagai kelompok kerja (Pokja), baik sektor pertanian mau pun lini home industri, maka PKBM ini menampung hampir 600 orang.

Hal ini cukup aneh, PKBM Mitra Harapan tidak berlokasi di tempat yang strategis, bahkan di ujung perbatasan kecamatan yang relatif sepi. Namun, ternyata mampu menjadi magnete bagi pemburu asa di bidang pendidikan. " Promosi mau pun publikasi dilakukan oleh para alumni, tanpa kami minta. Dari mulut ke mulut, mereka mengabarkan kualitas PKBM Mitra Harapan," ungkap Sudarsih tanpa bermaksud jumawa.

Rumah yang dibangun dengan dana hutangan (foto: dok pri)
Rumah yang dibangun dengan dana hutangan (foto: dok pri)
Berdagang di Pasar
Menurut Sudarsih, untuk seluruh kegiatan yang berlangsung di PKBM Mitra Harapan yang dikelolanya, nyaris seluruh siswa tak dipungut biaya. Hanya, untuk peserta kejar paket C, pihaknya menyediakan tempat khusus guna menampung infaq. Misal siswa ternyata tak mampu memberikan infaq pun, PKBM Mitra Harapan akan membebaskannya.

Karena tertarik dengan kiprah perempuan kelahiran 1 Juli 1976 ini, maka perbincangan semakin seru. Ada ketertarikan untuk menggali cikal bakal berdirinya PKBM Mitra Harapan yang dipimpinnya. " Wadoh ! Ceritanya panjang, tapi intinya berawal dari putus kuliahnya (drop out) saya di IKIP Semarang," tutur Sudarsih.

Sudarsih dengan siswa spesialnya, Ilham (foto: dok pri)
Sudarsih dengan siswa spesialnya, Ilham (foto: dok pri)
Diungkapkan, saat duduk di bangku SMP (MTs), Sudarsih biasa bangun pk 03.30 untuk belajar dan sarapan. Selepas Subuh, dirinya harus berjalan kaki sejauh 6 kilometer sebelum mendapatkan kendaraan umum menuju sekolahnya. Hal tersebut berlangsung sampai melanjutkan ke bangku di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) yang ada di Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang.

Tahun 1996, Sudarsih lulus MAN dan meneruskan kuliahnya di IKIP Kota Semarang. Sayang, baru satu tahun menyandang predikat sebagai mahasiswi, ekonomi orang tuanya tak memungkinkan membiayainya. Karena merasa terseok- seok untuk menutup biaya kos, transportasi mau pun uang kuliah, akhirnya ia mengambil cuti. " Saya ke Jakarta, dan bekerja di perusahaan swasta sebagai staf dengan gaji cukup lumayan," ungkapnya.

Merasa nyaman dalam mencari uang, Sudarsih enggan melanjutkan kuliahnya. Bahkan, tahun 1999 , temannya SD yang bernama Sudadi meminangnya. Di sinilah titik balik kehidupannya mulai memasuki lini pendidikan. Paska menikah, dirinya pulang kampung dan sempat bekerja di pabrik rokok. "Karena tidak betah, saya banting stir menjadi pedagang di Pasar Wates," tuturnya.

Perpustakaan PKBM yang berada di teras rumah (foto: dok pri)
Perpustakaan PKBM yang berada di teras rumah (foto: dok pri)
Rupanya peruntungan di Pasar Wates kurang menggemberikan, maklum pasar yang ia manfaatkan berdagang hanyalah pasar desa. Sempat kembali ke Jakarta, akhirnya tahun 2002, Sudarsih melamar di SMP Negeri 3 Pabelan yang berlokasi tak jauh dari rumahnya. Menjadi staf bagian Tata Usaha (TU), perbulan dirinya dibayar sebesar Rp 80.000.

Karena sepulang bekerja tak memiliki kegiatan, akhirnya Sudarsih mulai aktif di PKK di desanya. Hingga tahun 2008, ada program pengentasan buta aksara yang memasuki desa Tukang. Dengan iming- iming bayaran Rp 150.000, dirinya menyigi kampungnya untuk mencari 20 peserta program tersebut. " Hal ini berlanjut dengan adanya program kejar paket A dengan syarat peserta juga 20 orang," jelas Sudarsih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun