Inshofah, nenek berumur 61 tahun yang tinggal di Pulutan RT 1 RW 2, Sidorejo, Kota Salatiga sepertinya layak diapresiasi. Di usia senjanya, ia masih aktif mengelola Bank Sampah Najwa (BSN), mengolah limbah menjadi rupiah dan berbagi ilmu ke berbagai daerah. Seperti apa sosoknya ? Berikut perbincangannya Senin (5/11) siang.
Seperti galibnya nenek- nenek yang hidup di kampung, penampilan Inshofah yang biasa disapa bu Shofa, sangat berhaja. Mengenakan pakaian yang mulai uzur dan berkerudung, tak terlihat bahwa dirinya adalah seorang guru yang mampu mengajarkan beragam pengolahan sampah, mulai pemanfaatan limbah plastik, pembuatan kompos hingga membuat sabun lidah biaya.
Di rumahnya yang sederhana, bu Shofa menyambut setiap tamunya dengan ramah. Ia semakin antusias saat diajak berbincang tentang pengolahan sampah mau pun limbah. " Saya sudah berkeliling memberikan pelatihan pengelolaan sampah sejak tahun 90 an, tetapi aktif dengan BSN baru di tahun 2010," ungkapnya membuka percakapan.
" Setiap ada pameran pembangunan, kami nekad mendaftar. Apa lagi dulunya lapangan Pulutan sering dipakai untuk pameran, tentunya kami tak dipersulit untuk ikut serta," jelasnya.
Dengan berbekal dompet, tas, stopmap, bunga hiasan sampai sandal, kata bu Shofa, anggota BSN nekad mengikuti pameran. Hasilnya, banyak pengunjung yang terkesima melihat hasil buatan tangan ibu- ibu tersebut. Bahkan, dompet yang diproduksi menggunakan anyaman limbah plastik, mampu dijual seharga Rp 65.000. Sementara tas berbahan sama, dihargai minimal Rp 100.000.
Karena setiap kali pameran tak pernah absen, akhirnya pihak Dinas Ciptakaru Kota Salatiga selaku mengelola sampah, tertarik menggandeng bu Shofa untuk memberikan berbagai pelatihan terhadap anggota PKK mau pun komponen masyarakat lainnya. " BSN juga diberi bantuan berupa mesin pembuat kompos dan mesin jahit," kata bu Shofa.
Untuk membuat dompet atau tas berbahan baku limbah plastik, jelas bu Shofa, tahab awal, bungkus plastik dipilah satu persatu. Hal ini agar nantinya barang yang dibuat memiliki kesamaan warna, bekas bungkus minyak disendirikan, begitu pun bekas shampo. Setelah dipilah, seluruh bahan dicuci bersih ,dikeringkan dan dilepas perekatnya.
Setelah semua kering, bu Shofa membagi tugas pada anggotanya. Ada yang bertugas mengayam, membuat pola hingga menjahit. Sementara untuk pemasaran, biasanya konsumen berkunjung ke BSN. " Dari menyetorkan limbah, menganyam dan menjahit, semua ada hitungannya. Saya punya buku untuk mencatat segala administrasinya," kata bu Shofa sembari memperlihatkan buku tebal.
Belakangan, limbah- limbah plastik juga dibuatnya menjadi beragam gaun untuk seragam drumblek (kesenian tradisional khas Salatiga). Pakaian yang diproduksi dalam jumlah cukup banyak tersebut, biasanya dipesan oleh grup drumblek. Dengan harga Rp 70.000 perpotong, dirinya pernah menerima order membuat 70 potong seragam.
Dalam memberikan pelatihan, bu Shofa tak hanya berkutat di seputar Jawa Tengah saja, dirinya pernah diundang ke Lampung selama 1 bulan penuh guna berkeliling dengan tujuan yang sama. Untungnya, meski ia sebenarnya kurang biasa berbicara di depan orang banyak, tapi berkat pengalaman hal tersebut mampu dikuasainya. " Selama satu bulan di Lampung, segala kebutuhan dipenuhi dan saya mendapatkan uang saku Rp 5.000.000," tuturnya.