Duet Raka Metta Wantoro dan Dani Adi Kusuma, Â personil tim Ekspedisi 100 hari di puncak gunung Merbabu , Sabtu (28/10) malam mengakhiri misi pelestarian alamnya. Kendati mengaku hasilnya kurang maksimal, namun, mereka cukup puas. Seperti apa kehidupan yang dijalaninya di atas ketinggian 3.142 mdpl tersebut, berikut catatannya.
Kabar yang menyebut bahwa personil tim Ekspedisi 100 hari bakal turun gunung karena waktu yang dilalui bakal jatuh tempo pas peringatan hari Sumpah Pemuda, saya terima siang hari. Dari basecamp Thekelan (BCT), Batur, Getasan, Kabupaten Semarang sendiri sudah memberangkatkan tim penjemput berjumlah tujuh orang. Diperkirakan, sore sekitar pk 17.00, rombongan bakal tiba di basecamp yang mempunyai jarak tempuh sekitar 7 jam perjalan tersebut.
Sayangnya, hingga pk 17.45, belum ada tanda- tanda personil tim Ekspedisi 100 hari mau pun tim penjemput akan tiba di BCT. Pesawat HT yang berulangkali dikontak, tidak mendapat respon. Terkait hal tersebut, saya pun meninggalkan basecamp sembari meninggalkan pesan agar segera dihubungi ketika rombongan telah memasuki Dusun Thekelan. Ternyata, baru lima jam kemudian, tepatnya pk 23.00 seluruh personil bermunculan. Pasalnya, saat perjalanan naik, mereka dihadang hujan deras selama berjam- jam.

Seperti diketahui, tim ekspedisi 100 hari di puncak gunung Merbabu yang terdiri atas Raka Metta Wantoro, Bayu Ramadhon dan Dani Adi Kusuma, Kamis (20/7) lalu secara resmi meninggalkan  BCT, Batur, Getasan, Kabupaten Semarang untuk memulai pendakian. Kendati minim dukungan, namun, mereka bertekad akan tinggal selama 100 hari di puncak yang suhunya sangat ekstrim itu.
Belakangan diketahui, karena faktor keluarga, Bayu Ramadhon yang warga Tambakromo, Panjong, Kabupaten Gunung Kidul, DIY terpaksa mengundurkan diri sehingga ekspedisi hanya dilanjutkan dua orang. Mengutip keterangan Raka selaku koordinator ekspedisi, keberadaan mereka di puncak gunung Merbabu bukan untuk mencari sensasi. Pasalnya, selama 100 hari mereka memiliki misi merestorasi Kentheng Songo yang banyak dicorat-coret oknum tidak bertanggung jawab, konservasi berbagai jenis tanaman, konservasi beragam binatang, konservasi jalur pendakian hingga pembuatan tanda petunjuk di jalur-jalur pendakian yang bermanfaat bagi pendaki pemula.
" Untuk restorasi Kentheng Songo sudah kami laksanakan, begitu pun konservasi tanaman mau pun binatang. Yang belum tuntas adalah konservasi jalur pendakian karena kurangnya peralatan sehingga realisasinya agak tersendat," ungkap Raka yang didampingi Dani , Senin (30/10) sore di bumi perkemahan Senjoyo.

Menurut Raka, selama 100 hari di puncak Merbabu, di hari ke 70 pihaknya menemukan batu lumpang yang diduga merupakan sisa peradaban saat kerajaan Mataram Hindu berkuasa. Penemuannya telah dilaporkan ke Balai Taman Nasional Gunung Merbabu (BTNGM) yang berkantor di Boyolali. " Waktu itu, pak Edy selaku kepala BTNGM mengaku akan naik gunung, tapi sampai ekspedisi berakhir, beliau belum terlihat," jelas Raka.
Pihak BTNGM, lanjut Raka, rencananya akan mendirikan beberapa toilet kering di puncak Merbabu. Hal tersebut sangat dibutuhkan mengingat selama ini para pendaki yang buang hajat selalu mencari lokasi di semak- semak. Diharapkan, nantinya bila sudah terealisasi, kalangan pendaki tidak direpotkan oleh urusan pertinjaan. " Untuk map (peta) di puncak yang berisi tentang jalur pendakian, sumber mata air hingga lokasi- lokasi lainnya sudah kami buat," ungkapnya.
Peta lokasi yang dibuat menggunakan limbah itu, lanjut Raka, sekarang sudah terpampang di puncak, tepatnya ada di kawasan Kentheng Songo. Di mana, bila sebelumnya pendaki saat berada di atas harus terbingung- bingung mencari sumber air, sekarang tinggal mengikuti petunjuk yang ada. Memang, peta tersebut relatif sederhana namun manfaatnya akan terasa. Terlebih lagi bagi pendaki pemula yang kerap dibuat bingung ketika tiba di puncak.