Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Melongok Istana Konglomerat Salatiga di Jaman Kolonial

14 April 2016   17:13 Diperbarui: 15 April 2016   00:23 3552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berada dibawah pengawasan Javasche Bank, istana Djoen Eng sempat terlantar tanpa penghuni. Baru di tahun 1940, Fratres Immaculatae Conceptionis (FIC) Indonesia membelinya. Saat pembelian, belum ada gambaran akan dimanfaatkan untuk apa kompleks seluas 12 hektar itu. Menjelang FIC masih terbingung- bingung memikirkan penggunaannya, mendadak Gubernemen Hindia Belanda mengambil alihnya. Istana megah tersebut dijadikan kamp tahanan. Dua tahun kemudian, tentara Jepang yang merangsek ke Salatiga, ganti menyerobotnya.

[caption caption="Bagian belakang Istana yang jadi SMP Pangudi Luhur (foto: dok pribadi)"]

[/caption]Sempat dijadikan kamp interniran orang- orang Belanda yang ditangkap tentara Jepang, sekitar 170 orang yang terdiri atas warga Belanda,bruder mau pun pastor diperam di tempat ini. Usai kemerdekaan Republik Indonesia, Jepang yang terbirit- birit kabur meninggalkan istana Djoen Eng, membuat tentara Indonesia ganti mendudukinya. “Cuma sebentar tentara Indonesia di situ, kalau tidak salah tahun 1946-1949 istana Djoen Eng malah dijadikan markas militer Belanda yang kembali lagi ke Salatiga,” tukas Oma Martha.

Baru setelah Belanda benar- benar meninggalkan Salatiga, tahun 1949 para bruder mulai menempati istana Djoen Eng. Lokasi ini selain difungsikan menjadi tempat tinggal bruder, juga dimanfaatkan sebagai asrama. Sedangkan di bagian belakang dipergunakan untuk SMP pangudi Luhur (sampai sekarang SMP tersebut masih berjalan baik, meski tak sepopuler jaman dulu).

Tahun 1968 ketika Institut Roncalli didirikan, pimpinan FIC menganggap eks istana Djoen Eng dianggap kurang sesuai ditempati para bruder yang cara hidupnya bersahaja. Untuk itu, setahun kemudian dilakukan renovasi besar- besaran. Gedung utama yang mempunyai kubah emas, dipangkas habis agar kesan mewahnya lenyap. Lantai dua diubah jadi 40 kamar sehingga azas manfaatnya semakin terasa. Tahun 2008, nama Institut Roncalli berganti nama menjadi Rumah Khalwat Roncalli sampai sekarang.

Lantas apa kabar istana Djoen Eng sekarang ? Kamis (14/4) sore, saya melongok kompleks tersebut. Di pintu gerbang terdapat tulisan : Bukan Tempat Umum. Kendati begitu, tak ada satu pun penjaga yang terlihat. Saat memasuki halaman, ada kesan adem karena sinar matahari tertahan oleh banyaknya pohon pinus dan berbagai pohon lainnya. Nyaris seluruh areal terlihat bersih, udaranya terasa sangat sejuk.Keheningan seperti galibnya tempat yang religius amat kentara sekali, seakan daun kering yang jatuh pun bakal terdengar. Berada di lahan nan luas ini, mirip tinggal di hutan tengah kota.

Sepintas terlihat, beberapa ornamen Tionghoa peninggalan Djoen Eng masih dipertahankan dengan baik. Lantai ubin yang beragam motif dipadu marmer, lukisan kaca, gardu taman yang merah menyala tetap terpelihara. Sementara di bagian belakang SMP Pangudi luhur, digunakan sebagai Biara Betlehem serta Bruderan FIC. Sedang kebun yang luas terlihat dipenuhi aneka tanaman. Istana yang dulunya disebut paling megah ini, ternyata tak abadi dihuni pemiliknya. Itulah hidup, tidak ada yang permanen. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun