Mohon tunggu...
Bambang Wahyu Widayadi
Bambang Wahyu Widayadi Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis sejak 1979. di KR, Masa Kini, Suara Merdeka, Sinartani, Horison, Kompasiana, juga pernah menjadi Redpel Mingguan Eksponen Yogyakarta. Saat ini aktif membantu media online sorotgunungkidul.com. Secara rutin menulis juga di Swarawarga. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta sekarang UNY angkatan 1976 FPBS Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah mengajar di SMA Negeri 1 Sampit Kota Waringin Timur Kalteng, STM Migas Cepu, SMA Santo Louis Cepu, SPBMA MM Yogyakarta, SMA TRISAKTI Patuk, SMA Bhinakarya Wonosari, SMA Muhammadiyah Wonosari. Pernah menjabat Kabag Pembangunan Desa Putat Kecamatan Patuk. Salam damai dan persaudaraan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gasak Semua Gepeng, Pemerintah Tidak Realistis

27 November 2015   14:52 Diperbarui: 27 November 2015   15:06 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="Baliho, media sosialisasi Perda DIY No. 1 Tahun 2014, ihwal penanganan Gepeng. Dok Bewe"][/caption]

Gelandangan dan pengemis (gepeng), secara konstitusional menjadi tanggungjawab negara. UUD 1945 menjamin hal itu. Di tingkat opersional, teknis pembagian kewenangan cukup jelas. Kalau ada gepeng mati, yang ngurusi Dinas Sosial. Tetapi, untuk yang berkeliaran di jalan dan di tempat umum, yang berhak menggaruk adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)

Dwi Warna Widi Nugraha, Kepala Dinsos Nakertrans Gunungkidul dengan tegas mengatakan hal itu di kantornya, Jumat 27/11/2015, terkait dengan implementasi Perda No. 1 Tahun 2014, tentang penanganan gepeng.

Disodori fakta adanya adanya gepeng setengah menggila, yang dalam kehidupan sehari-hari nekad menggepeng, dia menjawab tegas. “Kalau pihak keluarga ikhlas, subyek yang menggepeng menjadi tanggungjawab negara. Mereka akan ditarik dan dirawat di RSJ.”

Persoalan tidak sesederhana yang dipikir Dwi Warna. Di kota Wonosari, boleh dibilang mereka menghilang dari sipang 3 dan 4. Operasinya bergeser, blusukan ke warung-warung makan.

Mereka menggepeng dengan modal pita suara lumayan sempurna. Audio dipermanis dengan musik bukan hanya akustik, tetapi elektrik terkemas dalam format MP 3 versi karaoke, lengkap dengan mikophone harga ratusan ribu. Tetapi tidak jarang, ada juga yang hanya modal kencrung atau uke lele, namun kualitas suara yang tak kalah hebat.

Martini, salah satu pemilik warung lotek tengah kota Wonosari mengatakan, kualitas suara pengamen itu memang bagus. “Kadang gak sampai hati kalau memberi Rp 100,00,” akunya.

Ibu satu anak ini tidak paham kalau Gubernur DIY mulai tahun 2014 telah memasang jaring hukum untuk menjerat gepeng berkedok penyanyi.

Sri Sultan HB X, bersama Untung Sukaryadi, Kadinsos DIY melalui sebuah baliho raksana berpesan kepada masyarakat. “Jangan memelihara perilaku hidup menggelandang dan mengemis di jalanan atau di tempat umum. Denda Rp 10 juta, kurungan 6 minggu bagi peminta-minta, denda Rp 1 juta kurungan 10 hari, bagi pemberi, “demikian Gubernur Bilang, rujukannya Perda DIY No. 1 Tahun 2014.

Winardi, seorang mahasiswa salah satu universitas di Yogyakarta yang kebetulan sedang menyiapkan skripsi masalah sosial menilai, aturan itu tidak bakal pas dikenakan untuk gepeng yang memiliki keahlian tarik suara.

Alasan Winardi sederhana. Gepeng yang melengkapi diri dengan alat udio sederhana tapi canggih itu, harus dihargai sebagai sebuah kreatifitas. Dia bukan ahli di bidang pengemisan. Dia lihai di bidang tarik suara, cuma nggak ada kesempatan untuk mengembangkan keahlian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun