Mohon tunggu...
Sedang Bambank
Sedang Bambank Mohon Tunggu... -

STATUS: Terbosen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lorong

10 September 2012   12:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:40 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13472781921017982502

[caption id="attachment_204984" align="alignnone" width="300" caption="sumber gambar dari duniamenulis.blogspot"][/caption]

Dan aku terbangun. Rasanya semua basah, dingin dan gelap. Ingatanku kupompa keras mencari tahu, namun tetap gelap dan beku. Bangkit, mulai meraba ke segala arah. Kurasakan dua tembok menjulang hanya di kiri dan kanan, sementara telapak kaki menciumi selasar bebatuan yang kupikir tertata rapi. Air, aku juga merasakan sedikit aliran air membelai mata kaki. Lorong. Aku berada di sebuah lorong berair. Mengapa? Ada apa?

Seperti Laron atau serangga malam apapun, naluriku menuntun kaki berjalan mencari sinar, walau mungkin hanya mataku sebenarnya yang butuh sinar, atau aku sendiri yang tak suka kegelapan. Selangkah, dan setelah berlangkah-langkah terlihat cahaya di depan. Mungkin benar kalau cahaya itu sumber energy, atau setidaknya berenergi dan memancar kepada yang menyerap, buktinya aku makin bersemangat menggegaskan langkah menujunya.

Sampai. Ternyata sebuah lampu penerang dari tiang di pinggir jalan. Di mana ini? Ragu-ragu aku berjalan di trotoar di bawah kanopi gedung-gedung yang menjulang. Terus berjalan dan terus berusaha mengingat di mana aku sekarang.

Mungkin sudah satu blok berjalan, kuputuskan untuk berhenti tepat di bawah salah satu lampu penerang jalan. Hari menjelang sore, dan gerimis sepertinya makin deras. Gerimis, hujan. Baru kusadari bahwa sejak tadi aku tak menyadari akan hal ini. Hanya ada rasa dingin dan basah

Tempatku berdiri sekarang ini adalah di pertigaan sebuah jalan. Di depanku sebuah jalan yang ujungnya tak terlihat karena membelok tertutup bangunan yang menjulang. Jalan itu dari sana bertemu dengan jalan yang membentang dari lembah arah kananku ke arah perbukian sebelah kiri.

Di seberang jalan tepat dipertigaan ini, berdiri sebuah restoran cepat saji. Walau masih terang, lampu di dalam bangunan itu menyala semua. Dinding kacanya membuat aku dapat melihat ke dalam gedung itu yang hanya berisi seorang pengunjung  seorang lelaki tanpa rambut di kepalanya, terlihat gelas minuman di mejanya, dan kuperkirakan sebuah tas teronggok dekat minuman itu.

Dari jalan arah atas sekarang sebuah sedan tua hendak menepi ke restoran tersebut. Itu kuketahui dari lampu sein kiri yang berkedip-kedip. Pengemudinya seorang tua beruban dan berjenggot lebat yang juga telah beruban.

“Mau kejemput jam berapa nanti?” Tanya si sopir

“Tak usah, nanti saya pulang sendiri. Agak malam mungkin, papah langsung pulang saja,” seorang gadis bercelana pendek dengan rambut ekor kuda keluar dari jok samping sopir.

Tapi yang sebenarnya dialog itu adalah hayalanku saja, karena sulit mendengarkan percakapan mereka dari seberang jalan, apalagi di tengah suara gemericik hujan.

Gadis itu berlari ke restoran itu, sepatu kainnya membuat genangan air yang di injaknya memancar ke kanan kiri, dua tangannya memegang jaket coklat untuk menutupi kepalanya dari rintik hujan. Mobil dia kemudian melaju ke arah lembah.

Rupanya lelaki botak di restoran sedang menunggu gadis tadi, dari tempatku berdiri terlihat jelas mereka sekarang duduk satu meja. Yang sebenarnya si gadis belumlah duduk, hanya mendekati meja lelaki itu yang kemudian lelaki itu berdiri. Mereka pergi. Tas yang di meja tadi sekarang ada ditangan si gadis.

Tak lama kemudian sebuah sepeda motor keluar dari tempat parker bawah tanah restoran tersebut. Keluar belok ke kiri, menyebrang pertigaan, belok lagi ke kiri masuk ke parkiran sebuah gedung yang tepat didepanku berdiri sekarang, di seberang jalan. Lelaki botak dan gadis ekor kuda itu sekarang masuk ke gedung itu.

Sementara hari makin sore, hujan kelihatannya akan lama redanya, terlihat dari awan kelabu yang makin pekat. Beberapa pengendara motor menepi, beberapa diantaranya berteduh dekat berdiriku

Dan apa ini? Sebuah bungkusan plastik sejak awal ternyata kupegang. Obat. Isinya obat. Obat apa, dan siapa yang membutuhkan obat ini? Terus kucoba menjelajah waktuku di belakang, namun tetap saja seperti memasuki kabut yang tak berkesudahan. Dari notanya yang ratusan ribu, jelas ini obat penting, tapi buat siapa, dan mengapa ada padaku?, Aku juga bingung harus pulang kemana, sementara hari makin gelap, dinginnya juga terasa sampai ke otak.

Terus aku berusaha mengingat hingga tak kuhiraukan apa yang terjadi di sekelilingku. Teriakan histeris dari seberang jalan, suara letusan-letusan, raungan mesin motor yang sepertinya dipaksa untuk tergesa tak kuhiraukan.

“Hei, jangan lari!”

“Awas! Tiarap semuanya!”

“Cepat hubungi polisi!”

“Itu ada yang kena tembak!”

“Cepat panggil ambulan!”

Lemas tak berdaya, tiba-tiba aku roboh, mendadak semuanya gelap.

**********************************

Dan aku terbangun. Rasanya semua basah, dingin dan gelap. Ingatanku kupompa keras mencari tahu, namun tetap gelap dan beku. Bangkit, mulai meraba ke segala arah. Kurasakan dua tembok menjulang hanya di kiri dan kanan, sementara telapak kaki menciumi selasar bebatuan yang kupikir tertata rapi. Air, aku juga merasakan sedikit aliran air membelai mata kaki. Lorong. Aku berada di sebuah lorong berair. Mengapa? Ada apa?

Seperti Laron atau serangga malam apapun, naluriku menuntun kaki berjalan mencari sinar, walau mungkin hanya mataku sebenarnya yang butuh sinar, atau aku sendiri yang tak suka kegelapan. Selangkah, dan setelah berlangkah-langkah terlihat cahaya di depan. Mungkin benar kalau cahaya itu sumber energy, atau setidaknya berenergi dan memancar kepada yang menyerap, buktinya aku makin bersemangat menggegaskan langkah menujunya.

Sampai. Ternyata sebuah lampu penerang dari tiang di pinggir jalan. Di mana ini? Ragu-ragu aku berjalan di trotoar di bawah kanopi gedung-gedung yang menjulang. Terus berjalan dan terus berusaha mengingat di mana aku sekarang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun