Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menulis untuk Dibaca (Plus Dikomentari)

10 Juli 2016   19:24 Diperbarui: 10 Juli 2016   19:29 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Kalau Tokopedia pada teks iklannya bilang "yang jual banyak", terpikir oleh benak saya "yang beli siapa". Kalau di Kompasiana yang menulis banyak, terpikir juga yang baca siapa? Tentulah seorang Kompasianer sudah dapat memprediksi yang membaca adalah di antara Kompasianer sendiri atau non-Kompasianer yang kebetulan mendapat tautan dari media sosial ataupun memang sengaja mencari tulisan topik tertentu. Untunglah Kompasiana memberikan laporan berapa orang yang membaca tulisan kita sehingga ada indikator untuk menilai seberapa tertarik pembaca terhadap tulisan kita atau paling tidak pandangannya menangkap sesuatu perlu dibaca. Jika pembaca sudah menembus angka 1.000, terasa ada kebanggaan dan kepuasan tersendiri. Apalagi, jika ditambah adanya komentar dan nilai meskipun kita tidak yakin benar apakah 1.000 orang itu benar-benar membaca.

William Zinsser, penulis kawakan yang menghasilkan buku terkenal bertajuk On Writing Well menyebutkan bahwa pembaca adalah makhluk yang paling sukar dipahami. Mereka hanya punya rentang perhatian kurang lebih 30 detik untuk memutuskan terus membaca atau meninggalkan sebuah tulisan. Karena itu, para penulis senior selalu menyarankan membuat teras (lead) yang kuat pada saat menulis yaitu paragraf pertama dan paragraf kedua. Namun, karena sering kali menulis dilakukan secara flow dan bebas, kadang urusan membuat teras yang mengikat perhatian kerap terlupakan. Bahkan, banyak penulis terjebak untuk menulis sekali jadi dan langsung tayang.

Jika penulis menyajikan topik yang biasa, tentu ia perlu bekerja keras menarik perhatian pembaca dengan memaparkan kisah, data, hingga fakta yang "mencekam" atau memiliki sudut pandang lain. Di sisi lain, kita pun mafhum tulisan yang paling banyak diminati adalah tulisan-tulisan yang mengandung kontroversi, tragedi, dan (mungkin) ketololan manusia untuk ditertawakan. Kali lain, tulisan-tulisan tentang keunikan, kesehatan, kegetiran, keajaiban, termasuk bagaimana meraih kekayaan juga kerap dapat menuai ataupun mencuri perhatian.

Soal kuatnya tulisan juga bergantung pada ide yang hendak disodorkan penulis kepada pembacanya. Ide yang baik di tangan penulis yang buruk tetap akan terlihat baik. Ide yang buruk di tangan penulis yang baik tetap akan terlihat buruk. Namun, kekuatan adalah soal bagaimana penulis menguasai betul soal seluk-beluk topik yang dibahasnya, bukan sekadar epigon karena ingin mendapatkan perhatian.

Tidaklah penulis dapat menghasilkan tulisan yang kuat ketika ia menyoroti persoalan mudik atau infrastruktur mudik misalnya, tanpa ia memiliki endapan pengalaman langsung bagaimana mudik ataupun tidak memiliki referensi yang cukup tentang banyak hal sehingga dapat menyajikan argumen dan opininya dengan dukungan data atau fakta secara detail. Beberapa penulis punya kecenderungan menulis saja, mengalir, dan tidak terlalu merisaukan pembaca atau konten tulisannya. Ia tidak mementingkan umpan balik karena yang penting adalah menulis dan menulis. Penulis seperti ini memang lahir dari rahim "kebebasan berekspresi"; yang penting nulis, so what gitu loh.

Sebagai penulis maka seseorang pun akan dibentuk dengan sikap atau lebih tepatnya pilihan sikap, apakah mau menuliskan topik-topik tren yang menjadi perhatian banyak orang atau menulis topik yang memang sepenuhnya dikuasai tanpa terikat tren. Menuliskan topik-topik tren (aktual) apalagi menciptakan sebuah "kegaduhan" lebih mudah dan cepat untuk menarik perhatian daripada topik-topik umum atau khusus. Beberapa tulisan yang tidak mengusung topik aktual justru "bunuh diri" dengan pembahasan serius sekaligus royalnya penggunaan bahasa teknis--makin sulit dipahami terasa makin keren. 

Namun, di tangan penulis terlatih sebenarnya apa pun topiknya tetap dapat "berbunyi" atau diaktualisasi. Beberapa penulis memang terbentuk sebagai generalis, baik itu generalis jenis (tulisan) ataupun generalis bidang--seperti ia dapat menulis soal politik, ekonomi, humaniora, hingga teknologi dengan sama baiknya.

Hakikat menulis dengan maksud dipublikasikan sebenarnya adalah tulisan dibaca sebanyak mungkin orang atau lebih dalam lagi memengaruhi banyak orang untuk menyetujui atau bahkan bereaksi menolak buah pikiran penulis. Pada konteks ini tulisan pun memiliki bobot untuk dibincangkan dan diperdebatkan secara cerdas. Sayangnya, kini dalam banyak hal, beberapa atau banyak penulis mulai kehilangan bobot itu karena yang dibagikan, dibincangkan, dan diperdebatkan adalah tulisan saling menyerang berikut caci maki yang membawa pembacanya ke dalam dunia nyata sekaligus fiktif.

Saya jadi ingat wacana yang pernah dilontarkan Mochtar Lubis dalam pidato Kebudayaan tahun 1977, lalu dibukukan dengan judul Manusia Indonesia. Tulisan Mochtar segera saja menuai reaksi. Ia mengusung pendapat bahwa orang Indonesia punya enam ciri utama dan ciri lainnya. Ciri pertama saja sudah membuat kuping memerah yaitu orang Indonesia hipokrit dan munafik. Ciri kedua setali tiga uang yaitu segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya,  keputusannya, kelakuannya, pikirannya, dan sebagainya hingga ciri ketiga semakin membuat kuping memerah menjurus menghitam yaitu berjiwa feodal. Ciri keempat tetap tak ada baiknya yaitu percaya takhyul. Ciri kelima agak membuat senyum tersungging yaitu bersifat artistik. Ciri keenam membuat tidak semangat lagi yaitu lemah watak atau karakter. Belum berhenti sampai di situ, Mochtar masih membeberkan ciri lain yaitu ciri buruk dan ciri baik. 

Dapat ditebak tulisan dari manusia komplet--sastrawan, budayawan, dan wartawan--seperti Mochtar Lubis segera saja menuai reaksi, di antaranya yang dimuat dalam bukunya adalah dari Sarlito Wirawan Sarwono (psikolog), Margono Djojohadikusumo (kakek Prabowo Subianto; dalam tulisan tanggapannya bahkan beliau menyertakan kutipan surat dari Prabowo), Wildan Yatim, dan Abu Hanifah. Mochtar Lubis menjawab semua tanggapan dengan lugas. Pada perdebatan antara Mochtar dan Margono Djojohadikusumo terangkat isu bahwa Mochtar dalam gagasannya terasa anti-Jawa, itu pula yang kali pertama ditanggapi Mochtar dan dibantahnya. Ia menyebut kakek Prabowo yang dihormatinya itu sebagai the vanishing breed yaitu jenis-jenis manusia Indonesia yang sedang dalam proses "kepunahan" dan termasuk "kekecualian yang jarang ditemukan kini" (saat itu akhir tahun 1970-an). 

Perang pena adalah biasa dan dapat dilakukan secara elegan dengan diksi yang santun meski pada beberapa bagian terasa lugas menusuk. Saya menyarankan Kompasianer yang belum membaca buku ini untuk membaca karena menjadi contoh tulisan yang kuat dan tajam serta fenomena perdebatan di dalamnya yang cerdas. Saya mengoleksi cetakan keempat tahun 2013 yang diterbitkan Yayasan Pustaka Obor. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun