Kembali saya. mengutip Pinker tentang mengapa terjadi sikap sok ilmiah dalam buku ilmiah. Berikut empat alasannya.
- Norma dan Tradisi Akademik: Dalam banyak disiplin ilmu, menulis dengan gaya yang kompleks sering dianggap sebagai tanda kecerdasan dan keahlian.
- Ketakutan akan Kritik: Akademisi sering kali menulis dengan bahasa yang rumit untuk melindungi diri dari kritik. Bahasa yang sulit dapat memberikan kesan otoritas dan membuat argumen mereka lebih sulit diserang.
- Kebutuhan untuk Mendemonstrasikan Pengetahuan: Dalam dunia akademik, ada tekanan untuk menunjukkan kedalaman pengetahuan, yang terkadang mengarah pada penggunaan jargon berlebihan.
- Kurangnya Pelatihan dalam Menulis: Banyak akademisi ahli dalam bidangnya, tetapi tidak mendapatkan pelatihan formal tentang cara menulis dengan jelas dan efektif.
Di Indonesia penerbitan buku ilmiah sering kali karena dorongan angka kredit untuk kenaikan pangkat dan kewajiban akademis. Sedikit sekali akademisi yang benar-benar mencurahkan perhatian bagaimana bukunya dapat menjadi populer, bahkan best seller. Bahkan, ia (buku itu) tidak ditangani dengan proses editorial memadai.
Tawaran penerbitan yang murah meriah dari vanity publisher (penerbit berbayar) yang sering kali mengabaikan mutu buku sering kali menyebabkan buku-buku ilmiah itu tidak memasyarakat (membumi) dan sekadar terbit setelah itu mati. Buku-buku ilmiah itu sama sekali tidak memberikan kebaruan (novelties) sekaligus memberi kontribusi pada pemajuan keilmuan.
Saya mendapatkan informasi tahun lalu Perpusnas melalui Pusat Bibliografi dan Pengolahan Bahan Perpustakaan (Pusbiola) Â telah menerbitkan lebih dari 100 ribu ISBN. Artinya, ada 100 ribu lebih buku yang diterbitkan tahun 2024. Pada kuartal pertama tahun ini, bahkan sudah dikeluarkan sekira 40.000 ISBN.Â
Terus terang meskipun sangat produktif dalam produksi judul, saya kira sebagian buku yang diterbitkan itu adalah buku tidak bermutu. Mengapa saya berani mengajukan klaim seperti itu? Pengalaman menjadi narasumber berbagai pelatihan penulisan buku sejak 2000 di berbagai daerah dan berbagai kampus menunjukkan kita hanya punya semangat untuk menulis buku, tetapi sama sekali tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai plus keseriusan.
Ketika menjadi anggota Komite Penilaian Buku Nonteks dan Buku Teks di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek (sekarang Kemendikdasmen), hanya 30% buku yang dinyatakan layak. Sisanya 70% adalah buku tidak layak, padahal buku-buku itu telah bernomor ISBN. Itu sebabnya saya pernah menyampaikan bahwa ISBN tidak ada hubungannya dengan mutu buku.
Mereka yang tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai ingin menulis buku ilmiah sekaligus disebut sebagai penulis buku ilmiah agar menaikkan prestise. Namun, buku-buku itu kebanyakan tidak layak disebut buku karena ternyata juga ditangani oleh editor yang lemah dalam soal buku ilmiah.
Kajian terhadap penulisan dan penerbitan buku ilmiah di Indonesia juga sangat kurang. Para dosen lebih asyik membahas soal artikel ilmiah di jurnal bereputasi. Â Tantangan menulis buku kurang menarik bagi mereka karena mungkin buku itu harus tebal dan kompleks (meluas dan mendalam). Tawaran jalan pintas menulis buku dengan 99% menggunakan AI menjadi menarik bagi mereka, apalagi dapat diselesaikan dalam 1 hari seperti kecap para pengiklan.
Menulis Buku Ilmiah yang Memasyarakat
Topik seperti judul subtopik artikel ini yang disodorkan kepada saya oleh Pusbiola Perpusnas RI untuk mengisi webinar pada 15 Mei 2025. Kegiatan itu diselenggarakan dalam rangka menyambut HUT Perpusnas RI ke-45 sekaligus Hari Buku Nasional yang jatuh pada 17 Mei 2025. Namun, saya hanya memberi materi hanya dalam tempo 30 menit sehingga terbatas sekali dibandingkan segudang masalah buku ilmiah yang harus disampaikan.
Titipan pesan dari Perpusnas RI sebenarnya bagaimana saya dapat menegaskan buku ilmiah seperti apa yang pantas diberi ISBN. Ada banyak buku ilmiah yang sebenarnya tidak menunjukkan ciri sebuah buku. Beberapa buku dikonversi dari tesis/disertasi, tetapi hanya kulit luar yang berbeda, isinya plek ketiplek.Â
Selain itu, ada juga persoalan sasaran penerbitan. Untuk hal ini, saya menyinggung dalam satu salindia pemikiran Chris Anderson (2006) tentang model grafik long tail dalam bisnis penerbitan buku ilmiah. Buku ilmiah cenderung berada pada ekor panjang yang menunjukkan objek kurang populer, bahkan samar-samar. Hal itu harus dipahami hingga pada batas tiras produksi berapa sebuah buku layak diberi ISBN atau apakah ia menggunakan opsi open access dalam bentuk buku elektronik?