"Siapa pun yang menciptakan hal-hal ini sama sekali tidak tahu apa itu rasa sakit. Saya benar-benar muak. Sya tidak akan pernah ingin memasukkan teknologi ini ke dalam karya saya sama sekali. Saya sangat merasa bahwa ini merupakan penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri," begitulah Miyazaki mengomentari AI sebelum muncul tren AI Studio Ghibli.
Namun, hukum di Jepang kabarnya membolehkan perlatihan AI menggunakan basis suatu karya, termasuk karya seni.
Problem penggunaan AI yang terus mencuat, termasuk di dalam dunia penulisan adalah problem etisnya. Apakah etis menggunakan AI untuk publikasi, apalagi publikasi yang mempertaruhkan muruah penciptanya sebagai seorang akademisi?Â
Faktanya di media sosial kini bertaburan iklan bagaimana membimbing seorang penulis mampu menulis buku dalam hitungan hari atau menulis artikel  terindeks Scopus dengan sangat mudah. Seperti halnya Miyazaki, maaf, saya juga merasa jijik dengan hal itu.
Apakah AI memang membantu kita untuk malas berpikir dan malas berkarya dari "rasa sakit" seperti ditengarai oleh Hayao Miyazaki? Entahlah karena makin ke sini, AI semakin digdaya, bukan hanya soal penulisan, melainkan soal karya seni seperti animasi ala Studio Ghibli.
Problem etis yang terus digemakan, terutama di dunia akademis, yaitu deklarasi penggunaan AI jika memang digunakan pada karya tulis.
AI seperti yang kita pahami ada banyak jenisnya, bukan hanya ChatGPT dan sekarang ditanamkan pada banyak aplikasi. Sekarang setiap saya membuat dokumen baru di Word 365 maka AI Copilot akan menawarkan bantuannya untuk menulis dokumen. Ini memang mengerikan, terutama bagi penulis seperti saya.
Membuat Orang Kehilangan Pekerjaan
Impak AI yang paling terasa pada begitu banyak orang atau profesi adalah kehilangan pekerjaan karena tergantikan oleh AI. Pengalaman empiris saya tidak usah jauh-jauh. Saya punya kenalan desainer buku yang biasa membantu saya membuat kover buku. Namun, kini saya hampir tidak pernah lagi menggunakan jasanya.Â
Saya lebih suka mendesain sendiri dengan bantuan Canva berbayar yang tentu dapat menghasilkan desain kover buku dengan resolusi tinggi. Itu baru satu contoh yang terjadi pada orang seperti saya---Gen X yang terpengaruh juga dengan teknologi.
Di Pusat Perbukuan, ketika saya masih berkhidmat sebagai salah seorang anggota komite penilaian buku, saya memberi pandangan larangan menggunakan AI pada ilustrasi buku.
Mengapa? Alasannya sederhana. Pusat Perbukuan sebagai lembaga perbukuan resmi di Indonesia, salah satu tugas dan fungsinya adalah melakukan pembinaan pelaku perbukuan.