Para akademisi yang memang kepepet bukunya harus ber-ISBN atau merasa bahwa ISBN itu sebentuk pengesahan dan pengakuan terhadap karya mereka pun akhirnya rela membayar untuk pengurusan ISBN.Â
Celakanya terkadang oknum penerbit itu tidak benar-benar mengurusnya ke Perpusnas. Mereka justru menggunakan ISBN dari buku lain yang sudah terbit sehingga hal ini menyebabkan banyak terjadi "tabrakan" ISBN dan mengacaukan sistem.Â
Seiring dengan kemajuan teknologi dan perbaikan yang dilakukan oleh Perpusnas, kini nomor ISBN dapat dicek langsung di situs Perpusnas. Penulis/pengarang dapat mengetahui apakah benar ISBN bukunya sudah didaftarkan oleh penerbit.Â
Atas dasar kekacauan ini akhirnya Perpusnas memperketat aturan pengurusan ISBN, tidak sebebas sebelumnya. Pengaju ISBN haruslah penerbit yang berbadan hukum/usaha dengan melampirkan bukti legalitas pada saat awal mengajukan ISBN.
Perpusnas juga mengetatkan aturan serah simpan buku sehingga penerbit yang tidak kunjung menyerahkan bukunya akan dibekukan pengurusan ISBN-nya.Â
Gagasan ISBN Penerbit SwakelolaÂ
Beberapa waktu lewat, tepatnya tanggal 30 Oktober 2018, Perpusnas juga menggelar acara "Sosialisasi Penghimpunan Karya Per[se]orangan dan ISBN Self-Publisher".Â
Jadi, Perpusnas berencana memberikan ISBN untuk penerbit swakelola/mandiri (self-publisher). Saya memang tidak dapat hadir juga pada pertemuan tersebut.Â
Namun, di sini Perpusnas perlu memperjelas dulu definisi self-publisher tersebut dan persyaratan apa yang harus dimiliki. Di Indonesia pengertian self-publisher ini mengalami bias dengan istilah vanity publisher. Alih-alih menyebut dirinya self-publisher, ternyata sang penulis menerbitkannya di penerbit milik orang lain.Â
Secara sederhana pengertian self-publisher adalah seorang penulis yang menulis sendiri karyanya, menerbitkan sendiri (atas nama penerbitnya), dan mengelola sendiri penerbitan serta pemasaran bukunya.Â
Jika ia justru bekerja sama dengan orang lain (penerbit) dengan cara membayar, itu bukan self-publishing, melainkan disebut vanity publishing.Â
Secara bisnis, semestinya self-publisher juga memiliki badan usaha/badan hukum minimal perseroan komanditer (CV). Berbeda halnya jika self-publisher menerbitkan buku bukan untuk bisnis, melainkan sekadar hobi atau agar eksistensinya diakui, mungkin ia tidak memerlukan legalitas badan.Â