Pesta pernikahan itu bisa diselenggarakan sangat mewah. Itu karena orang tua menjadi sponsor utama dalam pembiayaannya.Â
Orang tua nebeng. Sebagai pengundang, terlalu fokus pada masalah penyambutan. Yang diharapkan tentu kesan wah.
Doa memang tertuju ke pengantin berdua. Di dunia bahagia, di akhirat lebih bahagia.
Tapi baru beberapa hari berpesta, hubungan yang terikat itu  sudah dicegat dengan cobaan yang hebat.
Orang tua dan mertua siap-siap jadi pengarah yang serakah. Mereka sepertinya dituntut segera punya anak. Tempat tinggalnya bergantian, tak boleh menempati rumah baru.
Mimpi buruk dimulai. Mimpi yang indah-indah, kasih sayang yang melimpah makin menjauh. Suasana hati pun keruh.
Menikah itu sebenarnya aneh dan ajaib. Dua insan yang berbeda terpaksa diharapkan sama.Â
Pesta bukan segala-galanya. Setelah pesta, wajib menjalani kehidupan berumah tangga seperti biasa.
Rumah tangga baru itu ringkih. Ribut sedikit saja, perpecahan makin menganga. Salah satu pihak tak mau mengalah.
Apalagi bila papah dan mamah ikut-ikutan. Hilang sudah gairah. "Begini salah, begitu salah".
Mertua itu pada dasarnya senang ikut campur. Merasa berpengalaman, lalu memberi arahan, tanpa permintaan.
Konflik mertua versus menantu, jika dijadikan thema sinetron, tak habis-habis untuk ditonton. Walau sebenarnya bermuatan pola pikir yang tidak begitu menarik.
Menghadapi situasi krusial ini, serasa berpandangan gelap. Jalan ke luar nya pun gelap.
Pasangan itu seperti dibutakan. Pikiran, emosi, gejala fisiologis, hingga gejala perilaku berganti membayangi dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak pernikahan yang tidak mengantisipasi terjadinya gangguan ini. Malah mungkin, dianggap keberuntungan, karena mengurangi beban pengeluaran.
Mereka masih mengira, bahwa bekal berumah tangga itu cukup gambar hati yang terpanah di tengah.
Tidak terbayang, kalau orang tua atau mertua menjadi sumber penyebab resah. Kursus menghadapi mereka yang bawel, jarang dijadikan bekal sebelum terikat pernikahan.
Beberapa pasangan baru juga menghadapi tuntutan agar mereka serumah dengan mertua atau orang tua. Jika sudah bercucu, mereka mendominasi pendidikan. Lalu lahirlah generasi baru yang terlalu dimanja. Bahkan sang cucu tidak mengenal sama sekali didikan orang tuanya sendiri.
Pola asuh yang didominasi kakek dan nenek, boleh jadi berdampak buruk. Mental cucu tidak tahan banting. Biasa dimanja, mentalnya repih, seperti barang pecah belah yang ringkih.
Padahal jalan kehidupan itu menuju ke depan, tidak ke belakang.
Kendali kakek dan nenek memang dimaksudkan baik. Tetapi jika terlalu baik, malah membuat generasi penerus ini mentalnya tergerus.Â