Konflik mertua versus menantu, jika dijadikan thema sinetron, tak habis-habis untuk ditonton. Walau sebenarnya bermuatan pola pikir yang tidak begitu menarik.
Menghadapi situasi krusial ini, serasa berpandangan gelap. Jalan ke luar nya pun gelap.
Pasangan itu seperti dibutakan. Pikiran, emosi, gejala fisiologis, hingga gejala perilaku berganti membayangi dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak pernikahan yang tidak mengantisipasi terjadinya gangguan ini. Malah mungkin, dianggap keberuntungan, karena mengurangi beban pengeluaran.
Mereka masih mengira, bahwa bekal berumah tangga itu cukup gambar hati yang terpanah di tengah.
Tidak terbayang, kalau orang tua atau mertua menjadi sumber penyebab resah. Kursus menghadapi mereka yang bawel, jarang dijadikan bekal sebelum terikat pernikahan.
Beberapa pasangan baru juga menghadapi tuntutan agar mereka serumah dengan mertua atau orang tua. Jika sudah bercucu, mereka mendominasi pendidikan. Lalu lahirlah generasi baru yang terlalu dimanja. Bahkan sang cucu tidak mengenal sama sekali didikan orang tuanya sendiri.
Pola asuh yang didominasi kakek dan nenek, boleh jadi berdampak buruk. Mental cucu tidak tahan banting. Biasa dimanja, mentalnya repih, seperti barang pecah belah yang ringkih.
Padahal jalan kehidupan itu menuju ke depan, tidak ke belakang.
Kendali kakek dan nenek memang dimaksudkan baik. Tetapi jika terlalu baik, malah membuat generasi penerus ini mentalnya tergerus.Â