Tak terbayangkan, bila dunia tanpa jempol. Tetapi jika satu tangan terdiri jempol semua, mungkin tetap akan berebut siapa yang paling jempol.
Diakui, bahwa jempol adalah bahasa isyarat yang paling sederhana. Jika jempol ke atas, berarti unggul. Jika mengarah ke bawah, keok namanya.
Seandainya hidup itu berjudi, isyarat jempol mudah dimengerti. Jika dibingkai dalam peramalan atau prediksi, maka sejak awal sudah ada bayangan kemenangan.
Di satu tangan, terdiri dari lima jari. Ternyata diam-diam mereka bersaing, untuk menempati predikat paling.
Dalam lagu dolanan Jawa, lima jari itu bertengkar. Malah bersekongkol untuk membunuh jari tengah, yang kenyataannya memang paling panjang.
Telunjuk memerintah jari kelingking memusnahkan si jari tengah. Jari manis mencegahnya. Semua jari wajib dihormati eksistensinya tanpa kecuali. Sambil bercanda, keluarlah kata-kata. "Bahkan kotoran lalat pun akan terasa segar". Itulah subjektivitas perasaan jika sedang bersaing.
Namanya saja jempol. Ia ingin tetap dipandang yang paling berguna.Â
Ambisi jempol, tetap menentukan kekalahan atau kemenangan. Kehidupan atau kematian. Kehormatan atau kenistaan.Â
Jempol adalah penentu nasib.
Di zaman Romawi dulu, colloseum menjadi saksi, saat Sang Gladiator dipuji atau dibully.
Jika ibu jari mendongak ke atas, keluarlah titah : "Mife". Artinya gladiator yang kalah dibiarkan hidup. Jika Kaisar menundukkan jempol sambil bersabda :"Ingula", maka gladiator yang menang, wajib menghabisi yang kalah.