Di akhir pekan, pernahkah kita menemukan gua di sekitar pantai. Bila pas di bibirnya, berteriaklah lantang. Apa pun yang kita teriakkan, akan digemakan lebih keras lagi.
Gema suara, gema hati. Semakin keras kata-kata, gemanya memantul lebih keras lagi
Tinggal memilih suara apa yang diteriakkan. Pujian atau makian.
Dalam jagad praktik sehari-hari, kita lebih senang merendahkan orang lain. Entah itu phisiknya atau pemikirannya.
Jika kata benci yang diteriakkan, gemanya diharapkan membesar. Jika ambisi yang dipilih, lawannya yang ditelikung semakin bingung.
Hukum pantulan itu menjadi latar belakang, dia memilih komentar apa untuk tujuan apa. Jika gemanya kecil pun tak apa. Yang lebih penting ia sudah menggemakan ujaran kebencian hari ini.
Mereka sebenarnya iri hati. Memegang prinsip yang belum tentu terjadi : " yang pergi pasti akan kembali, Â yang naik akan turun kembali".
Dalam keseharian, kita lebih sreg merancang kenaikan, tinimbang mengantisipasi penurunan. Dan sama sekali emoh melakukan tindakan pemaafan.
Hobi merendahkan martabat orang lain, dilakukan sebagai kesenangan. Amatilah pilihan katanya. Selalu dipilih yang paling tajam.
Mereka awam tentang jalur pemaafan.Â
Di gelar kenyataan kehidupan, masih tersisa mereka yang justru bisa menikmati ketika dihina. "Sukeng ing tyas yen den ina" adalah ajang untuk belajar lebih dalam terhadap hakikat kesabaran.