Mohon tunggu...
Bambang Subroto
Bambang Subroto Mohon Tunggu... Lainnya - Menikah, dengan 2 anak, dan 5 cucu

Pensiunan Badan Usaha Milik Negara, alumni Fakultas Sosial & Politik UGM tahun 1977. Hobi antara lain menulis. Pernah menulis antara lain 2 judul buku, yang diterbitkan oleh kelompok Gramedia : Elexmedia Komputindo. Juga senang menulis puisi Haiku/Senryu di Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bermimpi tentang Harmoni Alami

7 Oktober 2021   05:43 Diperbarui: 7 Oktober 2021   05:47 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sehari-hari tanah itu diinjak-injak. Ada yang berjejak, tapi lebih banyak kita tinggal menyaksikan dampak. Tanah dan kaki tidak saling mengerti.

Tanahlah yang menjadi saksi, bagaimana dia dieksploitasi. Para pemburu kebahagiaan duniawi itu menjadi sejahtera berkesimbungan lestari.

Alam memberi kebahagiaan tak mengenal waktu. Apalagi bila sudah mengenal teknologi. Eksploitasi berlangsung setiap saat, bukan hanya sesaat. Seakan-akan hidup itu hanya mengejar uang, lalu lupa keseimbangan alam.

Kita paham tentang kegunaan air mengalir. Dari hulu hingga hilir. Harmoni tetap sulit dicari. Itu karena aliran nafsu mendominasi karena lebih melibatkan emosi.

Sebenarnya, perburuan kebahagiaan itu lebih nges bila mampu menghayati proses mengalir itu. Di dalamnya ada secercah hikmah, bahwa uang bukanlah satu-satunya tujuan yang wajib dicari.

Banyak yang mengalami, semakin tinggi hasrat menumpuk materi, terselip disharmoni. Begitu ketemu keadaan yang mengasyikkan, lalu melupakan pemuliaan tujuan.

Filsafat hidup mengalir, tentu merindu terhadap kejernihannya. Karena dari sinilah kecintaan terhadap filsafat mulai bersemi. Apalagi jika mampu melihat hakikat kehidupan dengan pertanyaan yang pekat memikat.

Ibarat membuat kalimat, filsafat tidak menyukai tanda baca titik. Dengan tanda baca koma, justru kita mampu melihat titik nun jauh di sana.

Itu mungkin terjadi, karena segala akibat itu dipengaruhi oleh sebab dasariah yang menjadi alasan bertingkah laku.

Telaah filsafat telanjur mendapat predikat rumit. Jauh dari kebutuhan kehidupan sehari-hari. Misalnya tentang harmoni.

Harmoni bersifat alami. Ada yang menggunakan kamera kesenangannya saja. Tapi tidak dilarang untuk bertanya, kenapa kesenangan itu mampu menerangi penghayatan dalam berkegiatan.

Film dokumenter tentang siswa yang belajar membuat "tamago" di Jepang mengingatkan pada proses pencapaian keberhasilan yang tidak instan. Belajar membuat telur dadar tipis yang manis memerlukan totalitas penghayatan. Koki magang tersebut dinyatakan lulus, bukan ditentukan oleh faktor kognisinya semata.

Filsafat membuat "tamago" juga berlaku dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Bersamadi di zaman now memerlukan pula pengunyahan hakikat lebih lama. Tidak hanya lheb, asal telan. 

Berguru kepada alam pun begitu. Filsafat "memayu hayuning bawana" pasti punya mau.

Keseimbangan alam wajib diutamakan. Memayu, merupakan totalitas upaya mencapai kondisi rahayu atau keharmonisan berjangka panjang. Menjaga keseimbangan itu perlu, agar kita mampu merawat harkat kebermanfaatan itu dalam keseimbangan yang berjangka panjang.

Sejenak teringat pepatah lama. "Sesak alam tempat diam, tak berbumi tempat tegak". Beralamlah secara lapang, agar berwawasan jauh meluas, yang penuh dengan kesabaran.

Harmoni selalu bersifat alami. Istilah jadulnya : selaras, serasi, dan seimbang. Masyarakat harmonis tentu penuh contoh perilaku yang berkepantasan. Harmoni yang bersinergi dengan harkat, akan menentukan tinggi rendahnya martabat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun