Terdapat hari-hari yang ditetapkan sebagai peringatan peristiwa, yang sering dimanfaatkan untuk manuver berpolitik. Tentu hal itu mampu mengundang polemik. Faktanya sama, opininya berbeda-beda.
Komunikasi pun menjadi ideologi. Saluran ini dimanfaatkan untuk menggoreng isu tertentu dengan penekanan yang diskenariokan seru.
Jika seseorang berpindah jalur dalam berideologi, tentu wajib menunjukkan aliran dalam berpaham. Lalu dicari-carilah perbedaan yang paling menarik perhatian.
Bila itu menyangkut figur perorangan, yang diusahakan tentu kepantasan subjektif. Walau sadar konsekwensinya, yaitu membawa ciri relatif.
Topik "hilang"-nya patung dari museum, juga dilirik sebagai momentum yang sangat diharapkan berdentum.
Jika bermaksud dikotomis, maka dicarilah alasan untuk mengelompokkan golongan. Misal, mana kelompok non komunis, mana pula yang berindikasi komunis. Dengan latar belakang stigma, lalu masuklah ke penggorengan dan menentukan siapa kokinya.Â
Patung yang sudah tidak ada lagi pun, bisa dijadikan indikator politik kembalinya ideologi yang sudah mati.
Indikasi itu masuk ke dalam wilayah dugaan. Bisa benar, bisa salah. Karena bukan ahli sejarah, ya suka-suku saja dalam menganalisisnya.Â
Ideologi memang salah satu alat untuk melengkapi piranti kekuasaan. Boleh saja mereka sedang tidak sadar sedang menjadi beruk berayun.
Memelihara beruk, termasuk menghibur. Sedari kecil sengaja dibiarkan di kandang nyaman. Makin membesar, ia pandai berayun. Kita jadi terhibur. Tingkah polahnya sungguh atraktif sekali.
Polemik tentang beruk berayun memang beresensi. Tetapi intinya cenderung lebih mengarah ke pemenuhan ambisi pribadi.