Sampai sekitar tahun 1980-an, masyarakat pedesaan Jawa, khususnya di daerah pelosok seperti Gunungkidul, masih menjalankan perdagangan secara tradisional.Â
Kesepakatan dalam perdagangan hasil pertanian sering kali menggunakan alat ukur sederhana yang disepakati bersama, mencerminkan kearifan lokal.Â
Salah satu alat ukur yang paling populer pada masa itu adalah beruk, yang digunakan sebagai takaran dalam transaksi hasil pertanian.
Beruk dan Fungsinya dalam Perdagangan
Beruk adalah alat ukur yang terbuat dari tempurung kelapa, dibuat khusus oleh pengrajin lokal. Tempurung ini diproses dan dibentuk sedemikian rupa sehingga memiliki ukuran dan kapasitas tertentu yang diakui secara umum dalam masyarakat.
Dengan desain sederhana namun fungsional, beruk menjadi simbol penting dalam kesepakatan dagang di kalangan petani.
Pada era 1980-an di Gunungkidul, beruk digunakan oleh para petani untuk menakar hasil panen mereka, seperti kedelai, jagung, kacang tanah, jemawut, dan berbagai jenis kacang-kacangan lainnya.Â
Alat ukur ini menjadi standar yang disepakati dalam komunitas, dan di setiap pasar tradisional, beruk digunakan sebagai acuan dalam menentukan harga jual.
Tradisi Pasar dan Sistem Pengukuran
Pada hari-hari pasaran Jawa, misalnya hari pasaran Pahing atau Wage, para petani, terutama ibu-ibu, akan membawa hasil panen mereka ke pasar.Â
Mereka menggendong hasil pertanian dengan tenggok, keranjang tradisional yang biasa digunakan untuk membawa barang di punggung.Â
Setibanya di pasar, para ibu-ibu ini menawarkan hasil panen mereka kepada pembeli atau pengepul yang sudah menunggu.