Kegilaannya terletak pada perasaan massa yang berhasil merasa menjadi gelombang kuat yang berkekuatan dahsyat. Kekuatan lain dipandang hanya sebagai kekuatan buih. Kebenaran atau keberadaan segala sesuatu berada pada faktor jumlah pengikut.
Kelompok bebal bukan hanya orang biasa. Bisa jadi alumnus universitas ternama yang keren bergelar berderet-deret. Mereka bukan punakawan, yang berpenampilan seadanya tetapi berintegitas istimewa.
Punakawan itu keturunan dewa. Mereka turun ke dunia, untuk menjaga konsistensi pengutamaan sifat ksatria.
Paradoksnya, di pewayangan itu ada pula kelompok "bala kiwa" yang mengelompok di sisi kiri pakeliran. Berwajah merah, berpenampilan gagah.
Di sebelah kanan, mengelompok "bala tengen" berwajah putih ksatria.
Lalu ada pula peran punakawan, yaitu sebagai dewa yang turun berprofesi pembantu, menjaga dan berusaha memayu hayuning bawana.
Punakawan dikesani sebagai orang bebal berpenampilan kumal. Tetapi dalam menjalankan darmanya, punakawan itu "bathok bolu  isi madu". Berpenampilan bebal, tetapi terjaga dalam kebaikan berperilaku.
Semar, menjaga kedisiplinan, Â taat tapi kritis dalam menjalankan perintah. Gareng mengingatkan pentingnya silaturahmi yang maknawi. Petruk mengajak meninggalkan perilaku buruk. Bagong, mengingatkan keburukan jika hanya beromong kosong.
Di dalam praktik, memang ada gambaran peribahasa, bahwa "ditepuk air di dulang, tepercik muka sendiri".
Dulang adalah talam atau baki yang terbuat dari kayu atau tembaga. Â Jika di dulang tersebut terdapat ceceran air, kemudian ditepuk, air itu akan tepercik ke wajah sendiri. Perilaku menepuk air di dulang, memungkinkan seseorang akan mendapatkan malu karena kebebalannya itu.
Celakanya, mereka yang memainkan peran bebal itu tidak merasa jika makin berpandangan sempit.