Urusan makan saat pandemi sering merepotkan. Untuk menghindari kerumunan, diberlakukanlah protokol makan di luaran.
Jika disikapi secara reaktif, yang terjadi adu sikap kritis bahkan cenderung sinis. Sepertinya ada pembatas waktu. Hanya dua puluh menit.
Bagi yang terbiasa bertindak pro aktif, batasan waktu makan dipandang tidak merepotkan. Selalu terdapat alternatif jalan ke luar.
Salah satu alternatif jalan ke luar yang bersifat proaktif adalah masak di dapur sendiri. Sekali-kali mengolah makanan berbasis bahan nabati.
Makanan sehat tidak selalu daging-dagingan. Atau susu-susuan.
Dengan dasar pemikiran adanya kebebasan, kita masih sangat mungkin masak di dapur sendiri. Pasti aturan sekali makan dua puluh menitan tidak bisa diberlakuka di sini.
Jenis yang dimasak pun bebas. Misalnya sedang di Pasuruan, tetapi masak makanan nabati versi Pekalongan, tidak ada aturan penyekatan sedikit pun.
Tinggal pilih. Mau masak apa. Kluban bothok, petis tholo, pedoyo, sambel klopo, atau terong pencak. Itu semua varian di luar megono.
Etnis Tionghoa tidak akan protes. Arab pun begitu juga. Di wilayah pesisir, perpaduan dan kerukunan antar etnis, sudah menjadi budaya sehari-hari. Tak ada protokol-protokolan resmi.
Petis tholo dan kluban bothok itu juga bersaudara.
Kluban bothok tidak akan protes. Kenapa si petis plin plan. Kadang berbahan tholo, kadang kacang tanah. Sok-sok mengaku sebagai serundeng, yang manja minta dikepeli dengan tangan segala.