Pendahuluan
Bagian pendahuluan memberikan gambaran umum tentang fenomena premanisme digital yang semakin marak di era digital. Premanisme yang dulunya terjadi di dunia nyata kini berpindah ke dunia maya, memanfaatkan teknologi untuk melakukan pemerasan dan intimidasi. Di Indonesia, kasus pemerasan online meningkat drastis, dengan laporan pemerasan online (sextortion, ancaman kebocoran data, pinjaman online ilegal) melonjak 300% dalam tiga tahun terakhir menurut Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pada tahun 2023. Ironisnya, hukum di Indonesia masih tertatih-tatih menghadapi kejahatan ini. Sementara negara seperti Singapura telah membangun benteng hukum yang ketat, Indonesia justru kerap gagal melindungi korban. Artikel ini bertujuan untuk mengupas fenomena tersebut, mengidentifikasi kelemahan regulasi, dan mengambil pelajaran dari negara lain seperti Singapura.
Premanisme Digital: Definisi dan Modus Operandi
Premanisme digital adalah kejahatan terorganisir yang menggunakan teknologi untuk pemerasan sistematis dengan tujuan materi atau non-materi. Berbeda dengan cyberbullying yang biasanya bersifat personal, premanisme digital melibatkan jaringan yang terstruktur. Beberapa modus operandi yang umum di Indonesia termasuk:
- Sextortion: Pelaku mengancam menyebarkan konten intim korban. Kasus viral "TikTok Goddess" pada tahun 2023 mengguncang publik saat pelaku memeras ratusan pria melalui video call paksa. Sextortion sering kali melibatkan ancaman untuk menyebarkan foto atau video pribadi yang sensitif jika korban tidak memenuhi permintaan pelaku.
- Pinjaman Online Ilegal: Aplikasi pinjaman online bodong seperti "Si Jago Merah" mengancam korban dengan doxing (menyebarkan data pribadi) jika gagal bayar. Pinjaman online ilegal sering kali menawarkan pinjaman dengan bunga yang sangat tinggi dan syarat yang tidak jelas, sehingga korban terjebak dalam lingkaran utang.
- Ransomware Lokal: Peretas mengunci data korban dan meminta tebusan. Pada tahun 2022, sebuah rumah sakit di Jakarta lumpuh karena serangan ini. Ransomware adalah jenis malware yang mengenkripsi data korban dan hanya akan mendekripsinya jika tebusan dibayar.
- Joki Game/Dating Online: Pelaku menawarkan jasa "perlindungan akun", lalu memeras korban dengan ancaman peretasan. Modus ini sering kali terjadi di platform game online atau aplikasi kencan, di mana pelaku menawarkan layanan untuk melindungi akun korban dari peretasan, tetapi kemudian menggunakan informasi tersebut untuk memeras korban.
Data dan Dampak yang Mengkhawatirkan
Bagian ini menyajikan statistik dan dampak dari premanisme digital di Indonesia. Data menunjukkan peningkatan laporan pemerasan online dengan mayoritas korban adalah perempuan. Beberapa dampak yang mengkhawatirkan meliputi:
Statistik:
- Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat 1.200 laporan pemerasan online per bulan di Indonesia, dengan 60% korban adalah perempuan pada tahun 2023.
- Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebut 80% korban enggan melapor karena takut stigma sosial.
Dampak:
- Kerugian materi rata-rata Rp 5--50 juta per kasus. Kerugian ini mencakup uang tebusan yang dibayarkan korban, biaya pemulihan data, dan kerugian finansial lainnya.
- Trauma psikologis parah: Kasus bunuh diri seorang mahasiswi di Surabaya pada tahun 2022 akibat ancaman penyebaran foto intim. Trauma psikologis ini dapat mencakup stres, kecemasan, depresi, dan gangguan tidur.
- Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap transaksi digital, terutama di kalangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Kepercayaan yang menurun ini dapat berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia.
Perlindungan Hukum yang Masih Setengah Hati
Bagian ini mengkritisi regulasi hukum di Indonesia yang dianggap belum memadai untuk menangani premanisme digital. Beberapa masalah utama dalam perlindungan hukum meliputi:
- UU ITE (Pasal 27--29): Fokus pada pencemaran nama baik, bukan pemerasan. Sering disalahgunakan untuk kriminalisasi korban. UU ITE sering kali digunakan untuk menjerat korban yang melaporkan kasus pemerasan, sehingga korban enggan melapor.
- KUHP Pasal 368: Mengatur pemerasan konvensional, tetapi tidak mengakui bukti digital sebagai alat utama. KUHP belum mengakomodasi perkembangan teknologi dan modus operandi kejahatan digital.
Kendala Penegakan Hukum:
- Regulasi Tertinggal: Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) mandek di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak tahun 2016. RUU PDP diharapkan dapat memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap data pribadi dan mengatur sanksi bagi pelaku pemerasan data.
- SDM Aparat Terbatas: Hanya 10% polisi di Polda Metro Jaya terlatih menangani kasus siber pada tahun 2023. Keterbatasan sumber daya manusia ini menghambat penanganan kasus premanisme digital secara efektif.
- Pelacakan Pelaku Sulit: Pelaku menggunakan server luar negeri dan mata uang kripto. Penggunaan teknologi ini membuat pelacakan dan penangkapan pelaku menjadi lebih sulit.
- Tumpang Tindih Kewenangan: Polri, Kominfo, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) saling lempar tanggung jawab. Tumpang tindih kewenangan ini menghambat koordinasi dan penegakan hukum yang efektif.
Studi Kasus & Respons Pemerintah
Bagian ini menyajikan beberapa studi kasus nyata dan respons pemerintah terhadap premanisme digital:
- Kasus "TikTok Goddess" (2023): Pelaku berhasil dipergoki setelah 6 bulan beraksi karena korban takut melapor. Polri hanya menjeratnya dengan Pasal 368 KUHP (ancaman maksimal 9 bulan penjara). Kasus ini menunjukkan kelemahan dalam penegakan hukum dan perlindungan korban.
- Pinjaman Online Ilegal "Si Jago Merah": 50.000 korban terdata, tetapi hanya 5 pelaku yang ditahan. Kasus ini menunjukkan bahwa meskipun ada banyak korban, penegakan hukum terhadap pelaku masih sangat terbatas.
Upaya Pemerintah:
- Pembentukan Satgas Waspada Investasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memblokir 3.000 pinjaman online ilegal. Satgas ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari praktik pinjaman online ilegal.
- Aplikasi Aduan Konten Kominfo yang hanya menghapus konten, tanpa menindak pelaku. Aplikasi ini memungkinkan masyarakat untuk melaporkan konten ilegal, tetapi tidak memberikan solusi jangka panjang untuk menindak pelaku.
Belajar dari Singapura: Regulasi Ketat dan Teknologi Mutakhir
Singapura telah berhasil menekan premanisme digital melalui kombinasi regulasi yang ketat dan penggunaan teknologi canggih. Berikut adalah beberapa langkah yang diambil oleh Singapura:
1. Undang-Undang Spesifik:
- Personal Data Protection Act (PDPA): Undang-undang ini memberikan perlindungan yang kuat terhadap data pribadi warga Singapura. Pelaku pemerasan data dapat didenda hingga SGD 1 juta (sekitar Rp 11,5 miliar). PDPA mengatur bagaimana data pribadi harus dikumpulkan, digunakan, dan dilindungi, serta memberikan hak kepada individu untuk mengontrol data pribadi mereka.
- Computer Misuse Act (CMA): Undang-undang ini mengatur sanksi yang berat bagi pelaku peretasan dan pemerasan. Peretasan untuk tujuan pemerasan dapat dihukum hingga 10 tahun penjara. CMA mencakup berbagai bentuk kejahatan komputer, termasuk akses tidak sah, modifikasi data tanpa izin, dan penggunaan komputer untuk tujuan ilegal.
2. Teknologi Canggih:
- Pusat Forensik Digital: Singapura memiliki pusat forensik digital yang dilengkapi dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk melacak transaksi kripto dan metadata. Pusat ini memungkinkan penegak hukum untuk mengidentifikasi dan melacak pelaku dengan lebih efektif. AI digunakan untuk menganalisis pola transaksi dan mengidentifikasi aktivitas mencurigakan.
- Sistem SG Cyber Safe: Sistem ini dirancang untuk memberikan edukasi kepada publik tentang keamanan siber dan memungkinkan pelaporan kasus secara real-time. SG Cyber Safe menyediakan sumber daya dan alat untuk membantu individu dan organisasi melindungi diri dari ancaman siber.
3. Hukuman Publikasi:Â
- Singapura menerapkan hukuman publikasi di mana pelaku sextortion wajib masuk daftar hitam publik. Hal ini berarti identitas pelaku dipublikasikan, sehingga reputasi mereka hancur. Hukuman ini memberikan efek jera yang kuat dan melindungi masyarakat dari ancaman serupa di masa depan.
4. Kolaborasi Lintas Lembaga:Â
- Polisi siber Singapura, yang dikenal sebagai Cyber Security Agency (CSA), bekerja sama dengan Interpol dan platform komunikasi seperti WhatsApp untuk memblokir akun-akun mencurigakan. Kolaborasi ini memungkinkan penegakan hukum yang lebih efektif dan koordinasi yang lebih baik dalam menangani kasus premanisme digital.