Mohon tunggu...
Bambang Suwarno
Bambang Suwarno Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Mencintai Tuhan & sesama. Salah satunya lewat untaian kata-kata.

Pendeta Gereja Baptis Indonesia - Palangkaraya Alamat Rumah: Jl. Raden Saleh III /02, Palangkaraya No. HP = 081349180040

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Syukuran Merah Padam

13 Januari 2019   23:45 Diperbarui: 13 Januari 2019   23:59 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pensiun atau masa pensiun. Itulah hal yang paling dibenci oleh Darno. Itu seperti momok yang sangat menggelisahkan dan mencabik ketenangan jiwanya. Sehingga setiap ia mendengar siapapun yang membicangkan hal-hal yang berkaitan dengan masa pensiun, ia langsung menyumpal telinganya rapat-rapat. Bahkan melarikan diri darinya cepat-cepat.

Tak berpenghasilan lagi. Dua anak yang masih kuliah. Angsuran rumah BTN yang belum lunas. Usia yang makin menua. Tenaga yang kian melemah. Bisakah dapat pekerjaan lagi? Yang muda saja masih banyak yang menganggur. Apalagi yang pensiunan. Logika Darno yang logis itulah yang mengharamkannya bicara tentang pensiun. Baginya itu absurd dan bahkan seperti harakiri.

Namun tiga tahun ke sini, Darno sudah jauh lebih tenang dan nyaman dengan kehidupannya sekarang ini. Majikannya, yang bernama Bonggo Pribadi dan istrinya, kini sikapnya makin hari makin baik terhadapnya. Dalam tiga tahun ini saja, gajinya sudah naik dua kali. Setidaknya, itu yang membuat semangat kerjanya makin menggelora.

Apalagi istrinya sudah dua tahun ini, punya usaha sendiri kecil-kecilan. Marta dan Markus pun (meski belum kelar kuliahnya), juga sudah dapat pekerjaan sambilan. Artinya mereka sudah bisa biayai kuliahnya sendiri. Dan tahun depan cicilan rumahnya juga akan  lunas. Pendeknya, kehidupan mereka sekarang ini sudah lumayan aman dan sejahtera.

Kenyamanan itu membuat Darno makin enggan pensiun. Ia merasa masih bersemangat dan produktif. Masih bisa melakukan hal-hal yang bermaslahat. Baginya, pensiun hanya akan membuatnya cepat pikun.

Sebelumnya, ia takut pensiun karena hidupnya masih ngos-ngosan. Kini, enggan pensiun karena hidupnya sudah lumayan nyaman.

                        ***

"Pak Darno, saya pengin bicara hal penting kepada Anda.....," ujar majikan Darno.

"Oh iya.........ada apa Bapak?"

"Pertama, saya dan ibu, tahun  depan akan pulang kampung. Artinya tidak akan tinggal di kota ini, dan di rumah ini lagi. Satu tahun lagi saya sudah berumur tujuh puluh tahun. Saya dan ibu ingin menghabiskan sisa hidup kami di kampung halaman saja."

Artinya setahun lagi ia harus benar-benar purna tugas. Darno pun menangis sejadi-jadinya dalam kebisuan. Mengapa kenyamanan yang baru direguknya, dan spirit kerjanya yang sedang berkobar itu harus berakhir tahun depan? Padahal ia merasa masih sehat dan masih kuat. Meski usianya sudah mencapai lima puluh sembilan tahun, ia masih sangat menikmati pekerjaannya sebagai sopir pribadi. Tapi mengapa..................

"Pak Darno..........," suara Ny. Bonggo menyentak kegalauan hatinya.

"Jangan keburu nelangsa dulu ya, Pak! Pasti Pak Bonggo dan saya, tidak akan lepas tangan begitu saja! Kami pasti ikut memikirkan masa depan Sampean. Kami sudah berencana memberikan pesangon untuk Sampean. Kami ingin agar pesangon itu nantinya bisa dipakai sebagai modal usaha Sampean atau istri Sampean."

                                    ***

Setahun kemudian, ketika umur Darno memasuki tahun ke enam puluh, masa purna tugas itu memang benar-benar harus dijalani. Segala kegamangan dan kecemasan yang sebelumnya pernah selalu menghantuinya itu, kini justru berubah menjadi sebuah kebebasan yang membahagiakan.

Penyebabnya karena pesangon yang diterima dari majikannya, jumlah nominalnya sangat fantastis baginya. Seratus juta rupiah! Seumur-umur Darno dan istrinya belum pernah memegang uang sebanyak itu. Memimpikannya pun belum pernah. Dan itu masih ditambah lagi dengan kiriman dari Agung dan Dinar (putra-putri Pak Bonggo), yang sedang kuliah sambil kerja di Australia.  Masing-masing mengirim dua puluh lima juta rupiah.

"Sungguh tidak sia-sia lima belas tahun aku mengabdi pada keluarga yang berhati mulia itu." Gumamnya kepada dirinya sendiri.

Jika digabung dengan dua puluh juta rupiah uangnya sendiri yang ada di tabungan, maka saat ini Darno dan isterinya memiliki dana segar seratus tujuh puluh juta rupiah. Dan itu baru dicapainya setelah ia baru saja memasuki masa pensiunnya. Barangkali inilah yang disebut sebagai 'berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian'.

Dengan kepala tegak dan senyuman bangga ia menatap masa tuanya. Pensiun bukan lagi masa suram, tapi masa yang memerdekakan jiwa dan raga. Tugas berikutnya adalah bagaimana cara mengisi kemerdekaan itu. Selamat datang masa pensiun!

                                    ***

Sebelum keluarga itu mendiskusikan untuk menentukan sebuah opsi terbaik. Sebelum mereka menetapkan untuk membuka sebuah usaha keluarga yang paling pas yang bisa dilakukan. Yang hasilnya bisa untuk meningkatkan kualitas hidup di masa pensiun. Sebelum itu, Darno bermaksud akan mengadakan acara syukuran terlebih dahulu.

"Semua yang kita dapatkan dari keluarga Pak Bonggo itu adalah berkat Tuhan."

"Ya benar. Itu adalah jawaban Tuhan Yesus atas doa-doa kita." Timpal istri Darno.

"Sebab itu, ayo kita makin setia, makin dekat dan taat kepada-Nya!" Tambah Darno.

"Yes, kami siap komandan!" Sahut Markus.

"Semanten ugi kulo enggih mekaten, Romo!" Imbuh Marta.

"Karena itu, aku berencana akan adakan Acara Syukuran. Selama ini kita kan belum pernah adakan. Baik di lingkungan tetangga mau pun di lingkungan warga gereja."

"Maaf, lho ya....aku cuma sekedar ingatkan. Jangan sampai motivasi adakan acara itu, hanya karena gengsi apalagi pamer." Celetuk istrinya.

"..................................?"

"Siapa saja yang diundang ke acara itu, Yah?" Tanya Marta.

"Ya semua kerabat kita. Juga tetangga-tetangga dekat kita. Pasti juga teman-teman segereja kita. Dimulai dengan Ibadah Syukur, lalu dilanjutkan Ramah Tamah untuk tamu-tamu umum."

"Boleh nggak, ngundang grup arisanku?" Tanya istrinya.

"Ya boleh dong!"

"Kalau begitu dijatah saja Ayah! Kak Marta undang sepuluh orang teman kuliahnya. Dan aku juga sepuluh orang." Markus pun ajukan usulannya.

Rapat kecil itupun menelorkan beberapa butir keputusan. Tamu yang datang (plus anak-anak) diperkirakan sampai seratus lima puluh orang lebih. Hari dan tanggal pun sudah disepakati. Tempat acara di Balai Kelurahan yang berkapasitas 200 orang.  Guna memeriahkan acara, disetujui juga menyewa pemain orgen tunggal dengan dua orang penyanyi. Semua menu konsumsinya akan dimasak sendiri, dibantu para keponakan dan teman-teman Marta. Sedangkan dekorasinya diserahkan ke Markus dan kawan-kawan.

Begitu undangan disebarkan,  di lingkungan Darno mulai terjadi semacam "kebisingan sosial." Berbagai ujaran dari yang bersifat guyonan, rasa penasaran, sindiran, cemoohan, kecurigaan, spekulasi ngawur, kecemburuan, sampai ke ujaran fitnah pun sempat terlontar dari berbagai pihak. Lebih-lebih dengan memakai media sosial, maka kegaduhan itu semakin menjadi-jadi. 

Darno sendiri tidak begitu menyadari akan adanya kasak-kusuk yang berkembang sangat cepat di luaran. Apalagi Marta dan Markus. Mereka sangat sibuk dengan kuliah, pekerjaan dan dunianya sendiri. Tetapi istri Darnolah yang sangat tertohok hatinya dan mulai terpancing emosinya.

"Tapi mereka sudah sangat keterlaluan, Mas!"

"Kamu dengar sendiri atau dari orang lain?"

"Ada yang dari orang lain. Tapi juga ada yang kudengar dengan telingaku sendiri."

"Sudahlah biarin aja.......kalau capek kan berhenti sendiri......." redam Darno.

"Itu hanya ocehan tak penting dari orang-orang yang jeles yang tak punya kerjaan saja, Bu." Markus ikut meredakan gemuruh hati ibunya.

"Iya Bu, ......yang terpenting khafilah harus maju terus! Ngapain dengar gonggongan anjing-anjing itu?" timpal Marta sinis sekali.

"Betul itu, Bu!" sambut Darno sambil merangkul istrinya yang terpukul.

"Tapi hatiku sakit Mas! Pokoknya Mas harus beri klarifikasi kepada mereka semua! Hentikan kenyinyiran mulut mereka.......! Atau acara syukuran kita batal saja....!"

Darno makin erat merangkul istrinya. Marta bersimpuh dan memeluk kaki ibunya. Sementara Markus menggenggam erat telapak tangan ibunya. Dengan body language  seperti itu mereka ingin menenteramkan jiwa wanita yang teramat dikasihinya itu.

Setelah melalui proses penjelasan dan pencerahan yang ekstra hati-hati, bara yang sempat berkobar di dada istri Darno, pelan-pelan berhasil juga dinetralisir kembali.

Klarifikasi tak perlu dilakukan. Dan rencana syukuran pun tetap akan dilaksanakan. Karena membatalkan sebuah acara (yang undangannya sudah tersebar), apapun alasannya, justru akan menimbulkan kegaduhan baru yang lebih menyakitkan.

                                    ***

"Wah, kamu sekarang jadi wong sugih, Dar!" gurau Mbah Danu menyalami Darno. Lalu memilih salah satu tempat duduk di balai pertemuan itu.

"Kamu mau nyalon jadi kepala desa ya, Dar? Aku siap jadi ketua tim suksesmu...."

"Ini syukuran apa Lik Darno? Apa lamarannya Marta?"

"Mau launching dan promosi usaha baru ya Mas? Mbok ya saya direkrut jadi karyawan Sampean...."

Sepanjang acara syukuran yang cukup meriah itu, celotehan-celotehan basa-basi penuh canda seperti itu banyak diterima Darno. Itu semua cukup menggembirakan hatinya, Dan membinar-binarkan rona wajahnya.

Namun kegembiraan seperti itu, segera padam oleh beberapa komentar atau pertanyaan atau bisik-bisik tamu yang nadanya sangat memojokkannya. Mencurigai dan mendiskreditkannya. Bahkan sampai mengarah ke character assassination.

"Masak aku dituduh maling. Kata mereka, aku tidak dipensiun, tetapi dipecat! Ini sungguh kurang ajar!" Gerutu Darno geram.

Tentu saja itu membuat darah Darno menggelegak dan mendidih.  Jika sebelum syukuran, istri Darno yang sempat sangat sewot dan naik pitam. Sekarang di tengah-tengah acara syukuran itu sendiri, justru ia yang sangat meradang. Akibatnya, meski dengan sekuat tenaga ia terus berusaha menyunggingkan senyumannya, tetapi sama sekali tidak melambangkan kebahagiaan.

"Yang sabar....ya, Mas!" kata-kata seperti itu sudah tujuh kali keluar dari bibir istrinya dalam sejam belakangan.

"Coba kalau kita tidak adakan acara syukuran. Pasti kan adem ayem dan tentrem to, Mas!"

"Bukan karena syukurannya! Tapi karena mereka memang sudah kesusupan rohnya setan nyinyir itu!" bantahnya menahan amarah.

Jika saja sekarang ini, Darno membaca sepuluh sms yang sudah masuk ke hapenya, hampir bisa dipastikan kepalanya akan segera meledak. Mengapa? Karena kesepuluh sms itu substansinya cuma dua hal saja: Pertama, tiga buah sms berisi ujaran fitnah yang sangat keji. Yang kedua, tujuh sms berisi ngampil yotro atau pinjam uang.

                                          ==000==

Bambang Suwarno - Palangkaraya, 2019                  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun