Di tengah dominasi film horor dan drama percintaan yang kerap merajai layar bioskop Indonesia, hadir sebuah kejutan: Jumbo. Sebuah film animasi karya anak bangsa yang bukan hanya sukses secara komersial —menjadi film animasi dan film Indonesia terlaris sepanjang masa per Juni 2025— tetapi juga meneguhkan satu hal penting: Animasi Indonesia kini punya tempat di panggung dunia perfilman Asia.
Secara sekilas, Jumbo bercerita sederhana: tentang Don, seorang anak yang merasa diremehkan, mencari pembuktian diri lewat sebuah pertunjukan pencarian bakat. Namun, kekuatan film ini bukan pada kerumitan alur, melainkan pada emosi yang terjalin hangat. Penonton diajak masuk ke dunia Don dengan segala rasa cemas, minder, hingga keberanian yang akhirnya membawanya pada kemenangan. Di sinilah moral Jumbo memikat. Kisahnya mungkin terasa “kecil”, tapi dampaknya terasa besar.
Dalam hal visual, Jumbo adalah sebuah lompatan. Animasi Indonesia selama ini sering dianggap “sekadar hiburan anak-anak” dengan keterbatasan teknis. Tetapi Jumbo tampil dengan kualitas grafis, detail warna, dan desain karakter yang memikat. Ada kesan bahwa prosesnya tidak hanya ingin membuat animasi yang “layak tonton”, tetapi animasi yang bisa bersaing dengan standar global. Bisa disimak detail tekstur, tata cahaya, dan ekspresi wajah karakter yang tak lagi kaku. Penonton dewasa pun bisa larut tanpa merasa sedang menonton film anak-anak.
Keberhasilan sinematografi Jumbo juga terletak pada penggunaan ruang visual sebagai narasi emosional. Adegan-adegan penuh warna cerah ketika Don mulai menemukan keberanian, kontras dengan nuansa gelap dan redup saat menghadapi rasa takut. Dengan kata lain, warna bukan sekadar estetika, melainkan bahasa sinematis yang bicara lebih keras dari dialog.
Spektrum Visual dan Narasi Besar
Film animasi 3D pertama karya anak bangsa yang digarap serius selama lima tahun penuh oleh Visinema Studios Indonesia, dengan Ryan Adriandhy sebagai sutradara sekaligus penulis naskah, dibantu Widya Arifianti. Sejak awal, proyek ini dianggap sebagai eksperimen yang berani. Namun pada akhirnya, hasilnya memuaskan banyak pihak, menjadi tonggak penting dalam sejarah perfilman Indonesia: sebuah bukti bahwa animasi buatan lokal bisa berdiri sejajar dengan produksi global.
Di balik layar, ada kisah kolektif yang penuh dedikasi. Lebih dari 420 kreator muda Indonesia dari berbagai kota Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Malang, Depok, hingga Cimahi, bersatu menghidupkan dunia Don, sang tokoh utama. Dari proses visual development, storyboard, layouting, animasi 3D, hingga rendering, semuanya dilakukan dengan tangan dan imajinasi orang Indonesia. Tidak ada outsourcing besar ke luar negeri, sebuah pernyataan metaforik bahwa mereka bisa menciptakan karya yang utuh dari rumah sendiri.
Para produser, Anggia Kharisma dan Novia Puspa Sari, sejak awal menekankan pentingnya menjaga kemandirian kreatif. Mereka berani mengambil risiko besar dengan membiayai proyek animasi yang membutuhkan investasi waktu, biaya, tenaga, pikiran dan ide yang tidak sedikit. Dukungan Angga Dwimas Sasongko sebagai produser eksekutif semakin memperkuat visi ini. Sementara di bidang musik, Maliq & D’Essentials dan tim Laleilmanino menyempurnakan pengalaman menonton dengan lagu “Kumpul Bocah” yang hangat dan penuh nostalgia. Lagu yang bukan hanya soundtrack, melainkan denyut nadi semangat masa kecil, persahabatan, dan harapan.
Nama-nama yang terlibat di balik layar mungkin tidak semua dikenal luas oleh publik, tapi mereka adalah bukti nyata bahwa karya besar lahir dari kolaborasi. Film ini seakan menjadi ruang bermain yang luas, tempat setiap talenta menemukan porsinya, lalu merajutnya menjadi mozaik sinematik yang indah.
Film ini pantas diapresiasi karena menyentuh isu yang dekat dengan jutaan anak muda Indonesia: rasa tidak percaya diri, inferioritas, dan stigma sosial. Don adalah cermin dari mereka yang sering dianggap “tidak bisa apa-apa”. Lewat narasi sederhana, Jumbo menyampaikan pesan bahwa setiap anak memiliki kesempatan untuk tumbuh dan bersinar.