Tanpa membedakan generasi, otak pada dasarnya dipersiapkan untuk mudah beradaptasi di setiap jamannya. Hampir semua generasi di dalam masa pandemi ini dituntut untuk mau beradaptasi, agile dan akrab degan kemajuan teknologi, khususnya terkait dengan penggunaan gadget tadi.
Hal yang perlu diperhatikan efek blue light bila kita yang terlalu lama di depan layar LED smartphone, komputer, notebook, TV dan seterusnya. Berpotensi merusak jalur ritme sikardian cahaya yang masuk ke mata dan memblok produksi melatonin kita sehingga tidak ada rasa kantuk, yang ujung-ujungnya merusak siklus jam biologis kita. Bahkan dampak terburuk yang berakibat fatal adalah menyebabkan kebutaan permanen, akibat rusaknya sel-sel foto reseptor di retina mata.
Generation gap pada masa pandemi sekarang juga terakumulasi muncul ke permukaan adalah antara milenial dan sebut saja kolonial. Permasalahan ini lagi menjadi salah satu hot issue di manajemen BUMN dan ASN.
Seperti kita ketahui beberapa tahun belakangan ini, sebelum virus Corona mewabah, banyak angkatan milenial usia antara 30 sampai dengan 39 tahun yang mendapat jabatan atau posisi penting. Bahkan masuk ke jajaran direksi. Entah rekomendasi siapa, entah dari mana, atau mungkin saja titipan para menteri atau petinggi-petinggi oknum negara.
Bila kita ingin berpikir jernih, mau mengaktifkan fungsi eksekutif PFC dengan baik, tanpa emosional, sebenarnya kaum kolonial yang di atas 50 s/d 65 tahun justru lagi top-topnya kinerja bekerja dan berkaryanya. Sebaliknya yang muda juga belum tentu tidak berprestasi.
Namun dalam kondisi pandemi seperti ini, mereka kaum milenial yang menjabat tadi apakah mampu menghadapi atau menangani krisis ekonomi, khususnya krisis di perusahaan tempat mereka bekerja.
Banyak dari senior justru meragukan. Karena menurut mereka, para pimpinan milenial tidak memiliki referensi pengalaman seperti bagaimana menghadapi krisis ekonomi 1997-1998 era jatuhnya presiden Soeharto, dan krisis keuangan tahun 2008 kemarin.
Para 'kolonial' ini memang banyak menyebutnya generasi yang serba salah. Kala waktu mereka masih junior dalam bekerja tidak pernah diberikan kesempatan, karena dibilangnya terlalu muda. Giliran mereka sekarang senior, banyak atasannya yang malah menempatkan para milenial untuk menjadi pemimpin.
Karenanya sering dikatakan; generasi yang selalu tertekan. Namun untungnya sebagian besar kolonial ini masih memiliki hati nurani yang baik.
Pada akhirnya toh mereka tak tega melihat pimpinan-pimpinan milenial tadi, sehingga para senior ini tetap memberikan advice ataupun menyumbangkan pikiran-pikirannya turut mencarikan jalan keluar dan alternatif-alternatif solusinya.
Seperti disampaikan di awal sebelumnya, senior selain harus lebih sabar dan bersedia mengemong, membina ataupun menuntun juniornya, juga dituntut harus ikhlas menerima kenyataan bahwa junior-junior banyak yang lebih pintar.