Mohon tunggu...
bambang hermawan
bambang hermawan Mohon Tunggu... -

Penikmat Budaya,, Alumnus UII Jogjakarta 2001

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berkaca pada Merapi dan Mbah Maridjan

12 November 2010   14:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:40 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada yang memaknai Letupan Merapi sebagai gejala alam, adapula yang memaknai sebagai hukuman, pun ada yang memaknai sebagai peringatan, adalagi yang memaknainya sebagai proses membangun (seperti yang pernah diungkapkan mbah Maridjan pada 2006 lalu). Apapun itu sah-sah saja, tergantung kepada refleksi batin masing-masing individu.

Setiap kejadian adalah ayat, pertanda, pengingat yang tertuang dalam kitab teles (kitab basah). Meskipun tanpa huruf, tanpa juzz dan tanpa bab, keautentikannya sangat jelas tak tergugat. Sebuah “bencana” alam tentu akan mengagetkan banyak orang yang lupa membaca ayat-ayat kejadian dalam keseharian kita bahkan dalam setiap tarikan nafas kita. Setiap detik seakan kita ditanya “BUKANKAH AKU INI TUHANMU????” Alastu birobbikum???. Dan setiap detik pula kita dituntut untuk menjawab: ”IYA, AKU BERSAKSI” Qooluu Balaa syahidnaa. Jadi bila dianalogikan dengan kitab garing (kitab kering) “bencana” yang terjadi seperti kalimat berhuruf tebal atau bergaris bawah.

Mbah Maridjan dalam sebuah tayangan documenter TV yang saya saksikan pernah berkata yang kurang lebihnya begini: “Nek pas Merapi mbangun, aja nyebut nek Merapi njebluk. Nek aku ora ngono anggonku nyebutku, ning aku nyebut kanthi:

“ASSALAMUALAIKUM, DHUH GUSTI KULA NYUWUN SLAMET/WILUJENG”

“Kalu Merapi pas membangun (meletus), jangan berkata kalau Merapi meletus. Kalu saya tidak berkata seperti itu, tapi saya berkata:

“ASSALAMUALAIKUM, DHUH GUSTI SAYA MEMOHON KESELAMTAN”

Bagi saya ungkapan Mbah Maridjan diatas memiliki makna yang tinggi, bahwa setiap kejadian adalah tanda Tuhan, Gusti. Jadi mbah Maridjan tidak terjebak pada hal-hal fisik berupa lahar yang mendidih, awan panas yang mematikan sehingga rasa takut yang membuat lupa tak menguasainya. Itu semua hijab/penghalang. Dan fenomena itu semua tak membutakan batin mbah Maridjan. Hanya tenang dan beningnya batin yang Beliau pertahankan sekuat-kuatnya. Ketenangan dan kebeningan yang mampu membaca bahwa semua itu terjadi atas ijin (kehendak) Tuhan. Bagi beliau mungkin yang nampak hanyalah Tuhan, yang lain tak begitu menarik hatinya. Jangankan harta, nyawanya sendiripun seakan tak lagi penting. Maka hanya Tuhan yang beliau sebut.

Dan sungguh sangat menggetarkan hati, beliau meninggal dalam keadaan sujud, suatu posisi penghambaan dan penyerahan total, kumawula. Bagaiman tidak, wedhus gembel bersuhu 600 derajat celsius tak mampu mengalahkan sujudnya, pasrahnya, kumawula nya.

Merapi tundhuk pada ketentuan Tuhan, Mbah Maridjan pun Tunduk kepada ketentuan Tuhan. Klop sudah, sesama hamba ikhlas menghamba kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dan sebenarnya jargon Mbah Marijan bukan : ROSA!! ROSA!! Namun sejatinya adalah : RASA!!! RASA!!!

Wallahu a’lam, sugeng tindak Mbah, Rahayuo ingkang pinanggih!!

Ponorogo, akhir Oktober 2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun