Mohon tunggu...
Baldus Sae
Baldus Sae Mohon Tunggu... Penulis - Dekonstruktionis Jalang

Pemuda kampung. Tutor FIlsafat di Superprof. Jurnalis dan Blogger. Eks Field Education Consultant Ruangguru. Alumnus Filsafat Unwira. Bisa dihubungi via E-mail baldussae94@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mencegah Radikalisme, Universitas Katolik Widya Mandira Gelar Kuliah Umum

22 Oktober 2017   21:43 Diperbarui: 23 Oktober 2017   06:49 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menyikapi isu krusial yang mengancam keutuhan NKRI, Senat Mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandira - Kupang menggelar Kuliah Umum bertemakan "Pendidikan Multikultural sebagai Upaya mencegah Radikalisme dan Disintegrasi Bangsa", pada Sabtu (21/10). Pemateri Tunggal dalam kuliah umum kali ini adalah Rektor Universitas Katolik Widya Mandira, P. Dr. Philipus Tule, SVD. Kegiatan ini digelar di Aula Kampus San Juan -- Penfui, dihadiri oleh 150 mahasiswa yang adalah perwakilan dari setiap program studi.

Dalam laporan kepanitiaan, Yonathan Bulang selaku Ketua Panitia Pelaksana menjelaskan bahwa dasar pikir pelaksaan kuliah umum ini adalah faktum pluralitas bangsa Indonesia. "Benar bahwa Indonesia adalah bangsa majemuk dan secara historis, terbentuknya Indonesia didasarkan pada perasaan senasib sebagai yang sama-sama terjajah. Namun demikian, idealisme ini seakan ditantang akhir-akhir ini. Melemahnya kesadaran kebangsaan sesama anak bangsa. Dengannya keutuhan NKRI terancam. Indonesia tidak lagi menjadi rumah bersama yang nyaman didiami seluruh rakyat", demikian tuturnya.

Hal senada juga diungkapkan Elfrem Woni, selaku Ketua Senat Mahasiswa dalam sambutannya. "Isu dan aksi kaum radikalis merupakan momok yang mengancam eksistensi NKRI. Di hadapan kenyataan seperti ini kita perlu meningkatkan kesadaran  sebagai bagian integral dari Indonesia dalam rangka mencegah radikalisme dan disintegrasi bangsa"

Baldus Sae, moderator kuliah umum dalam pengantar singkatnya menguraikan bahwa keberagaman merupakan fakta tak terbantahkan untuk Indonesia. Heterogenitas ini merupakan kekuatan sosial dalam membangun peradaban bangsa. Namun demikian, kita perlu berkaca pada kenyataan akhir-akhir ini. Kesadaran sebagai sebangsa dan setanah air mendapat terpaan arus baliknya yang cukup berarti. Indonesia dikapling dan diklaim sebagai milik satu golongan tertentu. Mencuatnya isu dan praktek radikalisme semakin memperjelas arah disintegrasi bangsa.

"Sekiranya ini menjadi tantangan kita bersama para mahasiswa. Keutuhan NKRI dan kemajuan hidup berbangsa dan bernegara haruslah menjadi tanggungjawab bersama. Dengannya, membumikan kesadaran multikulturalisme menjadi urgen diperbincangkan di ruang kuliah", ungkap Baldus Sae.

Selanjutnya, P. Dr. Philipus Tule, SVD, di hadapan para mahasiswa peserta kuliah umum mengafirmasi radikalisme sebagai tantangan toleransi, mengancam NKRI, Pancasila dan kebinekaan. Dalam beberapa dekade terkahir ini, telah terjadi berbagai konflik dan kekerasan antar umat beragama di seantero jagad sebagai efek dari munculnya fenomena radikalisme agama. Fenomena dan gerakan radikalis agama, telah mengglobal dan menyusup masuk ke Indonesia. Menebarkan benih konflik dan ketegangan serta mengancam integrasi bangsa.

Menurut Doktor lulusan The Australian National University ini, secara etimologis, term radikalime (Latin: radix = akar) bermakna positif. Suatu gerakan kembali ke akar agama, yaitu tradisi dan kitab suci. Demikian pun fundamentalisme (Latin: Fundamen= dasar, fondasi) yang berarti kembali ke dasar atau basis agama yaitu kitab suci dan tradisi. "Kata radikal jika digunakan dalam konteks agama, menunjuk pada sebuah keyakinan yang mendasar terhadap ajaran-ajaran keagamaan yang dianut. Selama tidak disertai dengan kekerasan (violence), kata radikal tidak berkonotasi negatif", jelasnya.

Pakar Islamologi ini dalam kesempatan yang sama membeberkan sejarah cikal bakal munculnya radikalisme Islam. "Hal ini tidak berarti bahwa radikalisme selalu diidentikkan dengan Islam. Dalam setiap agama dapat kita temui sejumlah kelompok radikal keagamaan. Secara historis, radikalisme agama itu telah terjadi di Timur Tengah pada zaman setelah Nabi Muhammad SAW atau zaman Khulafa'Ar-Rasyidun, hingga abad pertengahan masa Jihad fi Sabilillah dan hingga dewasa ini".

Lebih lanjut dikatakannya "di Indonesia, sejarah muslim garis keras sesungguhnya bernuansa politis. Aneka peristiwa kekerasan atas nama agama dengan dampak negatif terhadap masyarakatlah yang mempertegas posisi Islam diidentikkan dengan violence and terrorism. Akhir-akhir ini kita sedang berhadapan dengan  fenomena dan realitas pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok umat beragama yang radikal. Beberapa di antaranya; HTI, FPI, DI/TII, Mujahidin Indonesia Barat kelompok Abu Roban, Mujahidin Indonesia Timur Kelompok Santoso atau Abu Wardah dan simpatisan ISIS. Mungkin juga ada Partai-partai politik radikal serta beberapa lembaga pendidikan radikal lainnya".

Radikalisme agama, menurutnya "muncul dari kesalahan interprtasi tentang dunia, agama dan kehidupan manusia serta penyalahgunaan sentimen publik. Ketika semua anasir sentimen publik ditekan dan diabaikan oleh kelompok dominan, umat beragama akan mengandalkan Allahnya. Situasi tanpa kompromi atas sentimen publik itulah yang akam menyuburkan lahan bagi para radikalis agama untuk mengandalkan agama dan Allahnya saja".

Sebagai solusi atas persoalan dimaksud, dosen pengasuh matakuliah Islamologi, Ilmu Perbandingan Agama dan Antropologi Agama ini memberikan kiat-kiat menangkal radikalime agama sebagai langkah preventif maupun kuratifnya. (1) Kaderisasi umat beriman militan, bukan radikal. Tugas semua lembaga agama adalah menyiapkan umat beriman yang militant dan memiliki spiritualitas cinta kasih sebagaimana diamanatkan dalam kitab suci masing-masing agama. (2) Pendidikan multikultural di berbagai level pendidikan. Pendidikan multikultural dinilai sebagai tawaran model pendidikan yang memahami, menghormati dan menghargai harkat dan martabat sesama manusia. Oleh karenanya mesti dikembangkan di pelbagai lembaga pendidikan agama agar para lulusannya memiliki pengetahuan, wawasan keagamaan dan spiritualitas yang inklusif dan lintas agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun