Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Epifenomenalisme Peter Bieri

9 Februari 2024   19:12 Diperbarui: 9 Februari 2024   19:14 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokpri/Epifenomenalisme Peret Bieri

Epifenomenalisme Peter Bieri

Filsafat telah menemani manusia selama berabad-abad. Hal ini sangat mempengaruhi budaya kita dan merupakan cikal bakal cabang ilmu pengetahuan saat ini. Filsafat adalah kemampuan luar biasa manusia untuk mengeksplorasi dan mempertanyakan diri sendiri dan lingkungannya. 

Dalam mengkaji pemikiran filosofis dari zaman kuno hingga saat ini, ia membahas pertanyaan-pertanyaan tentang kognisi, pengetahuan, tindakan, seni, dan banyak lagi. Pertanyaan-pertanyaan ini dapat berupa: Apakah kita mempunyai kehendak bebas atau kita ditentukan oleh sifat alami kita? Hanya manusia yang mempunyai martabat, atau apakah hewan ? Bagaimana kita dapat menetapkan hak-hak seseorang dan siapa sebenarnya yang termasuk dalam kategori orang? Apa yang benar;

Filsafat mempertanyakan apa yang seharusnya terbukti dengan sendirinya dan ingin menyelesaikan segala sesuatunya. Ini tidak memberikan jawaban pasti, namun memperjelas dan menerangi pertanyaan. Kompetensi inti terpenting dalam filsafat adalah kemampuan melakukan dialog kritis, baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain. 

Jika ilmu-ilmu lain bekerja melalui eksperimen, survei, atau observasi, filsafat bergantung pada dialog. Ini mendorong Anda untuk berpikir dan menilai secara mandiri dan mandiri. Dan buku ini selalu menawarkan wawasan mengejutkan yang  mencakup isu-isu terkini dan kontroversial di zaman kita.

Epifenomenalisme adalah pandangan  peristiwa mental disebabkan oleh peristiwa fisik di otak, namun tidak berdampak pada peristiwa fisik apa pun. Perilaku disebabkan oleh otot yang berkontraksi saat menerima impuls saraf, dan impuls saraf dihasilkan oleh masukan dari neuron lain atau dari organ indera. Pada pandangan epiphenomenalist, peristiwa mental tidak memainkan peranan sebab akibat dalam proses ini. 

Huxley (1874), yang menganut pandangan tersebut, membandingkan peristiwa mental dengan peluit uap yang tidak memberikan kontribusi apa pun pada kerja lokomotif. James (1879), yang menolak pandangan tersebut, mengkarakterisasi peristiwa mental para epifenomenalis sebagai tidak mempengaruhi aktivitas otak yang menghasilkan peristiwa tersebut seperti halnya bayangan bereaksi terhadap langkah-langkah pengembara yang ditemaninya.

Motivasi utama epifenomenalisme terletak pada premis  setiap kali ada penyebab yang cukup untuk suatu peristiwa fisik, maka terdapat pula penyebab fisik yang memadai untuk peristiwa tersebut. Jika peristiwa mental adalah sesuatu selain peristiwa fisik, maka agar peristiwa tersebut memberikan kontribusi sebab akibat di dunia fisik memerlukan pelanggaran hukum fisika. 

Model interaksionis Descartes (1649) mengusulkan  peristiwa nonfisik dapat menyebabkan perubahan kecil pada bentuk kelenjar pineal. Namun dampak nonfisik tersebut, betapapun kecilnya, akan berarti  perhitungan fisik mengenai gerak adalah salah karena perhitungan tersebut mengatakan  tidak akan ada perubahan bentuk kecuali ada kekuatan fisik yang menyebabkannya.

Seseorang mungkin mencoba untuk menyelamatkan kemanjuran mental dengan berasumsi  setiap kali ada efek mental di dunia fisik, terdapat kekuatan fisik yang cukup menjadi penyebab efek tersebut. Namun pandangan ini melanggar prinsip-prinsip Occamist dan gagal memenuhi intuisi anti-epiphenomenalist yang terkemuka, yaitu  mental membuat perbedaan terhadap fisik, yakni mengarah pada perilaku yang tidak akan terjadi tanpa adanya mental. 

Pandangan ini  mengarah pada masalah epistemologis: Jika selalu ada penyebab fisik yang cukup untuk apa pun yang seharusnya dihasilkan oleh peristiwa mental, maka seseorang tidak akan pernah berada dalam posisi di mana seseorang perlu menganggap ada sesuatu yang bersifat non-fisik yang sedang terjadi, dan dengan demikian tidak akan pernah ada alasan untuk memasukkan sebab-sebab mental ke dalam peristiwa atau perilaku saraf seseorang;

Banyak pemikir kontemporer akan menanggapi motivasi utama epifenomenalisme dengan menyangkal anggapan dualistiknya, yaitu dengan berpendapat  peristiwa mental identik dengan peristiwa fisik, dan karena itu mungkin mempunyai efek fisik. Pertanyaan-pertanyaan yang masih tersisa mengenai pandangan-pandangan fisikalistik tersebut akan dijelaskan pada bagian 3. Untuk saat ini, perlu dicatat  argumen yang disebutkan dalam dua paragraf sebelumnya tidak seharusnya menjadi argumen untuk dualisme, tetapi hanya untuk mengadopsi epifenomenalisme, ketika dualisme diterima. .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun