Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Rational Love"

14 Maret 2018   12:19 Diperbarui: 14 Maret 2018   13:23 846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rational  Love

Kompas.com. 16/11/2016, "Negara Harus Lihat Potensi Ancaman Disintegrasi Bangsa,  Kompas.com. 15/08/2017, Setelah 12 Tahun Perdamaian, Aceh Masih Dihantui Kemiskinan,  Kompas.com. 29/09/2017, "Wiranto Nilai Petisi untuk Referendum Papua Tidak Sah", Kompas.com. 16/08/2016  "Rasa-rasanya Kami Ini seperti Belum Merdeka ...Kalimantan"

Pada narasi berita Kompas.com ini menunjukkan problem yang serius jika kita memiliki kepekaan, dan keperdulian pada nasib negara Kesatuan Indonesia. Ada dua kemungkinan atau lebih yang mengakibatkan negara ini (1) kemungkian disintegrasi, dan (2) keutuan intgrasi berbangsa dan bernegara.

Sejarah menunjukkan bahwa tidak ada yang abdi, dalam perjalanan manusia, negara dan bangsa. Kita bisa mengambil kasus sejak awal peradaban manusia, Adam dan Hawa, hancurnya Romawi Kuna, USSR, dan pecahnya negara-negara lain pada peradaban dunia. Bahkan Hegel dengan Filsafat Sejarah menunjukkan  ada  kemungkian suatu substansi entitas, mulai dari  keluarga, suku, bangsa dan agama akhir nya akan meleburkan menjadi sintesis baru, teralienasi menjadi objektivikasi, dan pada akhir sejarah akan kembali sebagai perjalanan sejarah. Tradisi Yunani Kuna, dan negaranya  bertahan 9 abad bertahan akhir nya dibubarkan oleh Kaisar Romawi Yustinianus I.

Bila di amati sejarah kebangsaan Indonesia sejak Radja Kudungga, Kutai Kartanegara Wangsa Sanjaya, Wangsa Syailendara, Mataram Kuna, sampai Presiden 2018 ini, negara Indonesia sudah mengalami tidak kurang 7 kali mengalami proses objektivikasi. Selalu tidak ada yang stabil, ada proses kemenjadian, menjadi entitas baru. Maka tidak ada argumentasi yang memungkinkan bahwa negara bisa bertahan abadi, atau keutuhan selama-lamanya.

Lalu problemnya adalah bagimana konsep suatu negara didefinisikan (khususnya Indonesia dipahami dalam diskurus). Tentu hal ini dapat dijelaskan dengan meminjam kerangka pemikiran, dan pengalaman sejarah didunia, dan kemungkian potensi tersebut hadir pada masa depan berbangsa bernegara. Misalnya pandangan awal modern, kebudayaan yang memisahkan dan menyatukan, ethnis, dan pemikiran negara modern kelangsungan, dan berakhirnya kejayaan suatu Bangsa.

Proses integrasi Bangsa pada pandangan paling primodial adalah kenyataan kebangsaan tidak ada dasar konstrak yang memadai, hanya didasarkan pada perasan kekerabatan pada masa kuna.

Sedangkan pada pandangan modern bahwa Bangsa bersifat alami, realitas yang ada sebelumnya sebagai pemberian anugrah Tuhan, termasuk didalamnya kekuasaan pada dinasti, mitologi.  Padangan modern transformasi pola masyarakat dari pertanian agraris, ke industry modern, formasi kebangsan dilakukan melalui kemampuan intelektual pada proses pendidikan, mengubah atau menggantikan kebudayaan rendah ke kebudayaan tinggi, perubahan kebudayaan industry (reproduksi), kemampuan penemuan dan invensi teknologi, dan paradaban manusia.  Maka bangsa modern adalah product hasil proses kontruksi dilakukan elit, dan semangat nasionalisme.

Misalnya Pancasila (1) Sila pertama adalah transformasi dari Ketuhanan Barat tentang Monoteisme, (2) Sila kedua adalah transformasi dari The Declaration of the Rights of Man and of the Citizen 1789, (3) Sila ketiga adalah transformasi dari konsep persatuan dan nasionalisme Eropa, (4) sila ke empat adalah transformasi dari pemikiran John Locke, Charles Montesquieu, and Jean Jacques Rousseau,  (5) sila ke lima adalah transformasi dari pemikiran Karl Marx, dan  Friedrich Engels. Demikian juga tujuan bernegara disebutkan mencerdaskan kehidupan berbangsa (manusia cerdas). Maka jika dilihat dapat disimpulkan pendasaran Negara Indonesia, jelas adalah hasil Tranformasi Rasionalitas yang bersifat universal.

Jika dasar Kebangsan Indonesia sebagaimana pada dugaan sebagai hasil konstruksi rasional dan instrumental maka dapat di berikan beberapa analisis, mengapa pada saat ini terjadi pada kasus seperti dalam berita Kompas.com bahwa negara kita sedang dalam posisi menuju keterpecahan (alienasi) identitas:

Saya meminjam pemikiran "The ethnic origins of nations" oleh Anthony D. Smith (1987).  Pertama Indonesia terdapat lebih dari 300 kelompok etnis, atau suku bangsa di Indonesia, atau tepatnya 1.340 suku bangsa menurut sensus BPS tahun 2010. Dengan kondisi ini saya menduga ancaman keterpecahan berbangsa adalah Kegagalan Kita melakukan "Ethno-Symbolism" yang rumit dan belum selesai dilakukan, sementara pada kondisi yang sama UU negara melarang istilah dan penggunaan perumusan identitas dengan label komunal etnisitas. Disinilah paradox yang muncul dan tiba di negara ini. Bisa di pahami 1.340 memori kolektif berbeda, symbol berbeda, cara kebertubuhan berbeda, mitos dongeng berbeda, cara paham kosmogoni berbeda, tiba-tiba di wajibkan harus "single Identity".

Padahal rekonsiliasi ini belum selesai, dan belum terjadi, namun tiba-tiba terjadi pelompatan cara berpikir berbudaya dari multi identity menjadi single identity. Saya hanya menemukan sejak Pak Soekarno, Soepomo,  Hatta, Syahrir, STA, dan awal kemerdekaan Indonesia ada cara merumuskan cara kita mengucapkan dalil-dalil berbangsa dan bernegara. Hampir 50 tahun ini saya tidak menemukan bagaimana ide yang jelas dan terang benderang bagaimana kita merumuskan 300 etnis, dan 1.340 suku di Indonesia itu supaya memiliki "pemahaman 5 Sila tersebut, dan tujuan bernegara sebagai "idiologi bersama dalam kesatuan".

Bila kegagalan transformasi ethno symbolism ini mengalami kegagalan, dan tidak ditangangi dengan sungguh-sungguh saya mengkwatirkan akan membahayakan system nilai negara Indonesia. Ethno-Symbolism, bukan hal yang semudah di lakukan sekarang ini melarang tanpa memberikan diskursus pendasaran logika yang terukur, dapat di validitas dengan fakta batiniah, dan lahiriah. Bukan memaksa melarang, tanpa the best argument. Bagimana mungkin kuli pabrik di suatu desa menyatakan bahwa hasil cucunya sebagai kerja sebagai kuli jauh lebih baik jika dibandingkan masa VOC, atau masyarakat menggangap harga sembako era Presiden ke 2, lebih murah, dan lebih terjangkau dibandingkan sekarang ini. Atau sebelum satu etnisitas dan setelah etnisitas dilepas demi NKRI, bahwa kehidupan tanah, dan kampung nya habis di tanamin Sawit, dan Kebon yang bukan milik anak cucunya. Bagimana mereka paham arti Indonesia dalam hal mudah dan sederhana, dan ada saldo kebahagian.

Maka seluruh teks referensi ilmiah menyatakan bahwa Rational  Love  atau   kecintaan, keterhubungan satu etnisitas meleburkan dan melepaskan keyakinannya harus memiliki pendasaran yang logis, dan memberikan jaminan akan lebih baik lahir batin, tanpa itu maka seluruh hasilnya akan terjadi arus balik, melawan, dan atau membatalkan nilai yang sudah diberikan kepada negara. Intinya Rational  Love  di Indonesia "Ethnies are crucial for the formation of nations" belum diselesaikan dengan baik, dan menjadi potensi disintegrasi kebangsaan.

Problem Etnisitas, dan Kebangsan ini, bahwa pandangan Ethnicity (Thomas Fredrik Weybye Barth 1928-- 2016), tidak mudah meleburkan identitas etnisitas karena sebagai produk social yang mengakar, cara berinteraksi, kategori kebisasan habitus logika tindakan, cara ekspresi kehidupan. Maka tugas negara adalah menyatukan specific social settings merumuskan 300 etnis, dan 1.340 suku di Indonesia. Apakah itu sudah ada dilakukan, saya tidak paham, tidak tahu, apalagi dikaitkan dengan magistarum. Lihat pemikiran Miroslav Hroch, 'From National Movement to the Fully-formed Nation.

Pada akhirnya bila proses rekonsiliasi itu berhasil, maka pada tahap selanjutnya adalah akan dapat diketahui  validitas apakah Kebangsan yang dirumuskan didalam diskursus rekonsilasi suku dan etnisitas bangsa tersebut berhasil, apa bila semua warga negara dari Sabang Sampai Merauke, dalam tindakan, argumentasinya, dalam isi otak-nya, dalam jiwannya, dan dalam cita-citanya harus antara jelas dan bisa membedakan: (1)  res privata,  dan  (2) res publica. Konsep res private adalah etika komunal, suku, etnis, agama, kebudayaan, keyakinan, tidak bisa dimasukkan dalam ranah public, (2) res publica adalah cara merumuskan idiologi sebagai warga negara, dan disusun dalam dalil-dalil kecerdasan, atau the best argument. Itulah dasar pemikiran Marcus Tullius Cicero (106 SM-43 SM) sebagai bentuk peradaban yang universal dalam perumusan identitas kebangsaan. Jadi bagimana mungkin kita bisa membebaskan dari ancaman integrasi Indonesia seperti fakta pada harian Kompas.com, bila  tidak ada kejelasan batas tegas dan jelas, tanpa kecuali pada: ranah public, dan ranah private. 

Atau kalau mau disebut dengan makna lain, NKRI belum berhasil secara baik merumuskan  300 kelompok etnis, atau suku bangsa di Indonesia, atau tepatnya 1.340 suku, menjadi melebur sebagai entitas kesatuan, denga membedakan dua wilayah identitas dengan sangat jelas pada: "Res Private, dan Res Publica. ***)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun