"Ih, Bapak, ikut-ikutan deh...," Icut merajuk, tapi tetap membiarkan saya mendekat karena tak lama setelah itu kamera smartphone langsung saya arahkan ke mereka berdua.
Begitulah. Risma memainkan peran yang cukup sebagai seorang mayoret cantik di sekolah saya. Generasi muda yang penuh semangat dan dedikasi terhadap apa yang mesti dirinya capai. Risma mengayunkan baton -- tongkat mayoret -- dengan lentur tubuhnya. Risma adalah 'penari' yang unggul di antara beberapa mayoret lain di lapangan hijau. Ia tak lain adalah pemimpin yang memberikan aba-aba dalam membentuk formasi tertentu. Aba-abanya beriringan dengan nada yang dihentakkan oleh grup marching band sekolah kami itu.
Pesona mayoret cantik begitu kuat dengan seru-sorak di mana-mana saat dirinya memimpin. Alunan nada yang dibunyikan oleh grup marching band ini terkesan begitu istimewa. Lagu-lagu wajib dalam aroma yang berbeda dengan mayoret cantik sebagai pengiringnya. Mata tertuju kepada Risma yang terus menari di lapangan, pada upacara peringatan hari guru waktu itu. Risma tak mengelak senyum pada blizt kamera yang merangkul wajah berserinya. Ia juga semakin lincah saat tepuk tangan terdengar di seluruh lapangan. Orang-orang seakan tak berkedip kepada dirinya yang memimpin, memberi aba, dan menghentikan nada dengan serentak.


"Iya, Pak. Kami sudah siap jadi model terbaik," Risma menambahkan dan ikut Icut bergaya di sudut lapangan lain. Matahari yang kian menanjak tidak lantas membuat mereka kabur begitu saja. Icut malah berkali-kali meminta gaya ini dan itu. Risma cukup satu dua kali karena hasil fotonya lebih baik. Keringat yang mengucur di wajah mereka menjadi penambah pesona di sisi berbeda.
Risma dan Icut berleha-leha kemudian melepas lelah di sisi lapangan, di bawah teras pustaka, menghadap ke tiang bendera. Icut mengambil minum dan meneguknya seketika. Risma mengeluarkan botol kecil yang selalu dibawanya.
"Kamu pakai itu lagi, Ma?" ujar Icut hampir keselek dengan air putih. Ia masih belum percaya bahwa sahabatnya lebih tergoda dengan botol kecil itu.
"Aromanya ini bikin aku segar kembali, Cut," Risma menuangkan sedikit Kayu Putih Aroma ke tangannya lalu mengusap ke leher dan pergelangan tangan. Dan tak lupa ia mencium si 'ungu' itu dengan mata tertutup. Sekejap ia terlena dengan kesegaran yang diterima dari minyak kayu putih aroma terapi.
"Aku mau juga dong!" lalu Risma menuangkan setetes Kayu Putih Aroma dengan tutup ungu itu ke telapak tangan Icut. Icut mencium aromanya, menghayati bagai sedang memimpikan sesuatu, lalu ia oleskan ke leher dan sisanya ke lengannya. Icut terdiam sesaat. Lalu berujar.
"Kok nggak ada rasa apa-apa, Ma?"