Mohon tunggu...
Abdul Rahim
Abdul Rahim Mohon Tunggu... Freelancer - pengajar di Fakultas Ushuluddindan Studi Agama UIN Mataram, Pegiat Rumah Belajar dan Taman Baca Kompak, Lombok Timur

I'm the moslem kontak 087863497440/085337792687 email : abdulrahim09bi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Buruh, Kepasrahan dan Absennya Nalar Kritis

1 Mei 2020   13:14 Diperbarui: 1 Mei 2020   13:30 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : magdalene.co

Soliditas untuk Keadilan

Soliditas para buruh bukan hanya ketika menuntut kenaikan upah. Akan tetapi ketika eksploitasi berlebihan, ketimpangan yang tidak digubris oleh pemilik modal juga menjadi bagian yang harus dilawan bersama. Tidak cukup hanya dengan aksi setiap 1 Mei, tetapi setiap saat melawan ketidakadilan itu adalah keniscayaan yang harus dijadikan habitus. Para buruh adalah kunci kelancaran ekonomi di semua sektor. Karena itu ia menempati base structure sebagai penopang dalam piramida kelasnya Marx.

Jangan sampai buruh terdikotomi hanya karena perbedaan kelas pekerja. Pekerja kerah putih pun adalah buruh meskipun menikmati tempat yang lebih baik dari pada pekerja kerah biru. Tenaga honor, pengajar di kampus yang non-ASN adalah buruh-buruh kerah putih yang dibalut gengsi dengan sematan intelektual, akademisi. Ketidaklayakan upah yang diterima semestinya bukan dibalas dengan kepasrahan karena ketiadaan lahan lain untuk mendapatkan penghasilan lebih. Tetapi pemilik modal, bahkan negara pun harus hadir untuk menjamin penghidupan yang layak itu bisa terdistribusi secara nyata.

Alangkah lemahnya negara jika hanya dimonopoli oleh kelompok-kelompok pemodal yang bisa semudahnya membelokkan kebijakan demi keuntungan mereka. Selama kesetaraan itu belum jelas terwujud, para buruh tak seharusnya diam dalam kepasrahan. Upah murah bukanlah solusi atas kepasrahan itu. Selama bisa mendapatkan lebih dari tenaga yang dikeluarkan setiap hari, lalu mengapa harus diam meskipun distandardisasi negara dalam bentuk upah minimum.

Tetapi kita mesti menunggu sejenak setelah wabah kita hengkangkan dari tanah yang subur, dicita-citakan gemah ripah loh jinawi ini. Tanah yang bukan hanya untuk memakmurkan beberapa kalangan saja, terlebih asing ataupun aseng.

*Staf pengajar Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun