Mohon tunggu...
Mikchel Naibaho
Mikchel Naibaho Mohon Tunggu... Novelis - Pembaca. Penjelajah. Penulis

Pegawai Negeri yang Ingin Jadi Aktivis Sosial

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kuliah Bersama Ai

22 Maret 2018   21:02 Diperbarui: 22 Maret 2018   21:06 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : Flickr.com

Dia pemilik IP tertinggi ketika kami kuliah. Percayalah, satu-satunya alasan kenapa aku tidak tertarik membaca berita yang isinya tentang anak pemulung lulus S2 atau sejenisnya, itu karena di sekitarku banyak orang-orang seperti itu. Salah satunya dia.

Namanya Ai. Dia laki-laki serba bisa. Maksudku disini, ia bisa mengerjakan pekerjaan yang kebanyakan dilakukan oleh laki-laki sekaligus bisa menyelesaikan pekerjaan yang dilakukan perempuan. Dan yang paling menarik, banyaknya pekerjaan itu tak membuatnya melalaikan tugas kuliah. Jika Om Iwan Fals bertanya, sanggupkah Si Budi diam di dua sisi, aku tak bisa menjawabnya. Tetapi jika ia bertanya apakah Ai sanggup, dengan yakin kukatakan 'YA!'

"Sudah ngerjai tugas Pak Ahmad, Ai?"

"Sudah buat laporan lab, Ai?"

Begitu pertanyaan menyambut pagi di ruang kuliah kami. Dan sesuai tebakan kami -- karena pertanyaan itu juga sebenarnya hanya basa-basi, Ai sudah mengerjakannya. Ia tak keberatan kami menyalin tugasnya. Mungkin saat itu ia berpikir, semakin sering kami menyalin, semakin kami malas dan dia tak ada saingan untuk merebut IP tertinggi.

Namun, kali ini aku tak akan bercerita banyak tentang bagaimana kami menyalin tugasnya, lalu mendapat IP yang tinggi untuk kemudian menerima beasiswa di akhir semester. Aku akan menceritakan bagaimana Ai menjalani kuliah.

Aku tak tahu ada berapa orang yang tidak menyukainya di kampus kami. Sebab, dia baik kepada semua orang. Saking baiknya, seorang teman kami yang bercita-cita jadi filsuf, pernah berkata, "kau harus bisa bedakan antara 'baik' dan 'bodoh'!"

Dan Ai hanya tersenyum menanggapinya. Tetapi senyum itu sebentar saja. Selanjutnya, kami akan mendengarkan perdebatan yang gak penting antara Si Rajin dan Si Filsuf abal-abal. Oia, aku menjuluki Ai sebagai Si Rajin. Julukan itu kudapat setelah berdiskusi panjang dengan Si Filsuf -- aku hampir lupa lagi, ternyata ada satu orang yang kutahu 'tidak suka' pada Ai. Tetapi demi menjaga nama baiknya, sebut saja namanya Aiters.

"Aku juga gak suka Elektro. Tapi mau gimana lagi? Jalani aja, dan terus belajar!"

Itu adalah kata-kata Ai yang paling kuingat. Meski bernada motivasi, tetapi jangan bayangkan ia mengatakannya dengan gaya bak seorang motivator. Bayangkanlah emak-emak yang sedang memarahi anaknya yang menangis seharian karena tak dibelikan mainan. Jika saja aku tak sering menyalin tugasnya, pasti keesokan harinya ada berita yang berjudul : Motivasi Berujung Maut.

"Jangan menebak apa yang bisa dilakukan seseorang dari bentuk badannya, tetapi dari jiwanya," begitu kata Si Filsuf menanggapi imajinasiku tentang 'Motivasi berujung Maut' tadi. Tampaknya ia benar. Aku memang selalu percaya bahwa dapat mengalahkan Ai beradu otot, tetapi aku tak pernah memikirkan apa yang bisa dilakukannya di luar tubuhnya yang kurus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun