Mohon tunggu...
Hengky  Yohanes
Hengky Yohanes Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis PALI tinggal di Pendopo

Jika menulis di Kompasiana bisa mendapat predikat menjadi Penulis, insyaAllah saya akan jadi penulis yang baik

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pali "Darurat" Pengawas

26 Agustus 2019   01:13 Diperbarui: 26 Agustus 2019   02:58 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kejahatan Terjadi Bukan Saja Karena Ada Niat Pelakunya, Tapi Juga Karena Adanya Kesempatan"

(Bang NAPI -- RCTI)

Mengutip ungkapan BANG NAPI pada segmen akhir acara SERGAP di RCTI yang santer beberapa tahun silam dengan jargon "Waspadalah..... Waspadalah......" sejalan dengan sebuah teori dalam sudut pandang kriminologi yang dapat digunakan untuk menganalisa permasalahan yang berkaitan dengan suatu kejahatan.

Teori ini disebut dengan teori NKK. Menurut teori ini, sebab terjadinya kejahatan adalah karena adanya niat dan kesempatan yang dipadukan. Jadi meskipun ada niat tetapi tidak ada kesempatan, mustahil akan terjadi kejahatan, begitu pula sebaliknya meskipun ada kesempatan tetapi tidak ada niat maka tidak mungkin pula akan terjadi kejahatan.

Teori ini sering digunakan aparat penegak hukum (Polisi) dalam menanggulangi tindakan kejahatan di masyarakat secara preventif yang dilakukan untuk mencegah terjadinya atau timbulnya kejahatan. Mencegah kejahatan lebih baik daripada mencoba untuk mendidik penjahat menjadi lebih baik kembali.

Kejahatan Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah

Apa yang terpikir di kepala pembaca mendengar kata Te Es EM (TSM)? ya.. singkatan dari Terstruktur, Sistemik dan Massif made in Khofifah Indar Parawansa. Silahkan pembaca sendiri yang simpulkan kejahatan apa yang terjadi dalam Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) pemerintah berikut uraiannya.

PERTAMA, adanya kelompok yang paling membuat ulah dan masalah. Dalam pikiran mereka adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa mempedulikan lagi yang benar dan yang salah. Kelompok ini mengarah kepada si pemangku kepentingan (stake holder) dimana setiap jabatan dalam pemerintahan (eksekutif dan legislatif) dalam kesempatan yang dimiliki dianggap sebagai sebuah peluang yang berpotensi menggoda niat untuk menambah pundi kekayaan. Ragam cara licik dan kotor mereka gunakan untuk mengakali hukum.

Apabila mereka adalah anggota eksekutif, maka kekuasan negara yang mereka miliki dibelokkan untuk memenuhi keinginan hawa nafsu atas harta benda dan kekayaan yang tak pernah terpuaskan. Menggelapkan aturan perundang-undangan dengan prinsip kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah dan nantinya untuk mempermudah mereka minta "biaya" tertentu sebagai pelicin, memerintahkan anak buah untuk mengatur dan mengotak atik pengadaan dan persyaratan lelang, memeras pengusaha yang jujur dengan berbagai alasan supaya dapat menerima suap dan gratifikasi, menggelapkan proposal swakelola dengan memasukkan unsur keluarga dan nepotisme di dalamnya, serta berbagai akal bulus lainnya.

Apabila mereka adalah anggota legislatif, maka kekuasaan legislatif yang mereka miliki, khususnya hak budgeting akan digunakan untuk memuaskan nafsu serakah mereka terhadap harta. Memasukkan usulan anggaran "siluman," memalsukan kebutuhan masyarakat, memalsukan proposal untuk bantuan sosial, menekan eksekutif untuk memenangkan perusahaan yang berada di bawah kendali mereka, memeras pengusaha jujur untuk memberikan upeti, melobi berbagai pihak untuk meningkatkan kapasitas yang nantinya akan diklaim sebagai keberhasilan mereka yang harus dibarter dengan memenuhi kepentingan jahat mereka, dan berbagai modus lain yang dapat mereka lakukan.

Tabiat dan perlakuan ini bahkan dapat menular pada kelompok-kelompok lainnya, misal anggota yudikatif, kekuasaan kehakiman digunakan untuk memeras para pihak yang berkasus dalam bidang PBJ untuk mengubah putusan dan menjual hukuman pidana. Belum lagi kroni-kroni mereka yang menjadi pengusaha maupun pengacara digunakan untuk mencari-cari kesalahan dan memeras kesana kemari.

Lalu di kelompok Pengusaha, maka berlaku hukum "keuangan yang maha kuasa." Dengan fasilitas dan dana yang melimpah, mereka mencoba untuk menambah lagi uang mereka yang kadang sudah tidak berseri dengan cara-cara yang menjijikan. Sogokan, suapan, gratifikasi, ancaman, pemerasan menjadi makanan sehari-hari bahkan sudah dianggap sebagai sebuah kultur untuk memenuhi hawa nafsu mereka yang hanya bisa dihentikan oleh liang tanah.

Lalu dimana TSM nya?

Terstruktur, artinya kejahatan dalam PBJ sudah dalam keadaan yang disusun sedemikian rupa dengan melibatkan pejabat struktural. Dimulai dari proses perencanaan pengadaan, Pengguna Anggaran (PA)/ Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) merupakan pihak-pihak yang terlibat dalam proses perumusan kegiatan dari identifikasi kebutuhan, penetapan barang/jasa, cara, jadwal, dan anggarannya.

Baru-baru ini saja penulis sendiri mengalami perlakuan jahat terstruktur yang dilakukan oleh PPK di salah satu instansi Pemerintah Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) dalam proses PBJ. PPK terang-terangan memberikan atensi kepada Unit Kerja Pengadaan Barang dan Jasa (UKPBJ) untuk memenangkan salah satu penyedia.

Hal ini diperparah ulah 'main mata' Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) yang menerima laporan/pengaduan masyarakat terhadap dugaan kecurangan dalam proses pemilihan penyedia PBJ seperti diurai di atas dengan hasil tindak lanjut pemeriksaan yang sangat bersifat normatif  bukan pada esensi subjek pelaku kecurangan "penyedia tidak memenuhi syarat administrasi lelang yang sesuai dengan KAK" seharusnya, APIP dapat memberikan sanksi terhadap pelanggaran Hukum Administrasi Negara yang dilakukan PPK.

Jadi unsur terstruktur dalam kejahatan PBJ di Kabupaten PALI meski baru dikemukakan satu contoh sudah dapat terpenuhi.

Sistematis : teratur menurut sistim, memakai sistim, dengan cara yang telah diatur sedemikian rupa. Baru-baru ini penulis mengapresiasi peningkatan kinerja Dinas PU Bina Marga (PUBM) yang telah berupaya melaksanakan asas pemerintah yang transparan. PUBM telah merilis paket pekerjaan dalam Sistem Rencana Umum Pengadaan (SiRUP) di laman web milik Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan bahkan telah menggunakan Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) untuk pekerjaan Non Tender/ pengadaan langsung.

Gb. 1 - Laman Web LPSE-PALI (dok. pribadi)
Gb. 1 - Laman Web LPSE-PALI (dok. pribadi)

Namun dalam praktek pelaksanaannya, sistem ini hanya sebuah tampilan tontonan belaka,  silahkan pembaca buka link: http://lpse.palikab.go.id/eproc4/nontender atau jika pembaca memiliki user id sebagai penyedia akan dihidangkan sajian basi. Mengapa tidak, penulis sendiri banyak mendapati daftar paket pekerjaan yang bahkan telah selesai dikerjakan sebelum ditayangkan di laman web LPSE-PALI. Belum lagi tidak tersedianya menu "pendaftaran penyedia". Jadi untuk apa menggunakan aplikasi SPSE jika tidak dapat digunakan.

Apakah ini dilakukan hanya untuk menggugurkan kewajiban Pemkab PALI dalam melaksanakan pengadaan barang/jasa secara elektronik untuk sebagian/seluruh paket-paket pekerjaan sebagaimana Pasal 131 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, Inpres Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Aksi Pencegahan Dan Pemberantasan Korupsi dengan acuan Peraturan Kepala LKPP Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), Peraturan Kepala LKPP Nomor 1 Tahun 2011 Tentang e-Tendering, Peraturan Kepala LKPP Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Standar Dokumen Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Secara Elektronik.

Massif : "Bahasa TSM itu asli dari aku Terus diambil Pak Mahfud MD (saat itu Ketua MK)," "jenenge masif iku yo roto" (namanya, masif itu ya merata) kata mantan Menteri yang sekarang jadi Gubernur Jawa Timur; Khofifah Indar Parawansa dikutip dari salah satu media.

Jadi jelaslah, jika massif diartikan "merata", perlakuan jahat dalam PBJ di Kabupaten PALI sangat mudah dijumpai hampir disetiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Tidak perlu menganalisa terlalu dalam seperti verifikasi autentifikasi dokumen penyedia, buktikan saja dari dokumen sertifikat keterampilan atau keahlian hampir dapat dipastikan semuanya sewa. Atau yang lebih sederhana lagi, penyedia dalam metode pengadaan langsung tidak pernah membuat dokumen penawaran.

KEDUA, jika dalam tahapan seleksi penyedia masih didasari oleh Hukum Administrasi Negara dengan sanksi humum paling berat adalah pemecatan, namun lain halnya dalam tahapan pelaksanaan dan pengawasan, ada sanksi Hukum Pidana yang akan menjerat.

Dalam setiap pengadaan barang dan jasa senantiasa diikuti dengan Surat Perjanjian/kontrak yang didalamnya memuat spesifikasi barang yang akan dikerjakan/diserahkan kepada pengguna barang/jasa. Dalam kontrak selalu diatur tentang kuantitas dan kualitas barang dan jasa yang diperjanjikan, sehingga setiap usaha untuk mengurangi kuantitas atau kualitas barang dan jasa adalah tindak pidana.

Pengurangan kuantitas dan kualitas ini seringkali dilakukan bersamaan dengan pemalsuan dokumen berita acara serah terima barang, dimana penyerahan barang diikuti berita acara yang menyatakan bahwa penyerahan barang telah dilakukan sesuai dengan kontrak. Terhadap hal ini Panitia/Pejabat Pemeriksa Hasil Pekerjaan (PPHP) harus memahami KUHP pada pasal 263 menyatakan : (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun. (2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan, seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Pada Perpres 16 tahun 2018 diatur mengenai tugas pokok dan kewenangan dari PPHP, dimana PPHP mempunyai tugas pokok dan kewenangan melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak; menerima hasil Pengadaan Barang/Jasa setelah melalui pemeriksaan/pengujian; dan membuat dan menandatangani Berita Acara Serah TerimaHasil Pekerjaan.

Secara legal formal tanggung jawab untuk menyatakan bahwa barang atau jasa yang diserahkan telah sesuai dengan kontrak baik kualitas maupun kuantitasnya adalah PPHP. Namun secara material penyedia barang dan jasa juga harus bertanggungjawab terhadap kekurangan ini. Penyedia yang melakukan kecurangan ini bisa dikenai tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 7 UU 20 Tahun 2001 merujuk pada Pasal 387 dan Pasal 388 KUHP yang kualifikasinya adalah melakukan perbuatan curang bagi penyedia/kontraktor, ahli bangunan dan pengawas, sehingga membahayakan keamanan orang atau barang dan membahayakan keselamatan negara.

Perbuatan curang yang dilakukan adalah pemborong misalnya melakukan pembangunan suatu bangunan tidak sesuai atau menyalahi dokumen kontrak, bahan bangunan yang dipesan/dibeli darinya tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.

KETIGA, sedikitnya 9,3 miliar lebih Pemkab PALI menganggarkan jasa konsultasi pengawas konstruksi pada APBD tahun 2019. Besarnya dana tersebut tidaklah konstan atau berbanding lurus dengan kuantitas dan kualitas hasil pekerjaan. Konsultan Pengawas yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam Quality Control (QC) hanya menjadi pihak pelengkap yang ikut memuluskan rencana rakus sindikat jahat PBJ.

amskynews.com
amskynews.com
amskynews.com
amskynews.com

Lalu bagaimana dengan peran APIP dalam hal mengawasi kelakuan PPK, ULP/UKPJB dan pejabat pengadaan? Berdasarkan penilaian verifikasi dilapanganyang dilakukan penulis, pengawasan oleh lembaga audit (BPK dan BPKP) bersifat post-audit keuangan tiap tahun, sementara APIP juga cenderung melakukan post-audit saat ada temuan kasus dan bersifat represif bukan pada pencegahannya (preventif) dengan melakukan pengawasan sejak tahapan perencanaan sampai dengan barang/jasa tersebut dimanfaatkan (Probity audit).

Tahukah APIP terhadap 'langganan' kasus-kasus temuan yang sudah menjadi rahasi umum ini seperti: proyek/paket sudah dijual terlebih dahulu kepada penyedia sebelum anggaran disetujui atau disahkan, pengadaan tidak sesuai dengan kebutuhan (rekayasa dokumen), persekongkolan antara DPRD dan pihak PA/KPA termasuk (calon) penyedia, proaktif yang biasa dilakukan DPRD, PA/KPA atau penyedia, HPS dan spek teknis dibuat oleh penyedia, mark up harga, suap kepada pihak-pihak terkait, manipulasi pemilihan pemenang, pengumuman terbatas, manipulasi dokumen lelang, persekongkolan KPA, PPK, Pokja ULP/Pimpro, PPHP, Bendahara, manipulasi dokumen serah terima pekerjaan, suap kepada auditor (BPK atau BPKP) untuk menghilangkan temuan audit, dan suap kepada penegak hukum untuk meringankan hukuman.

Lalu apa tindakan APIP sebagaimana yang telah diakomodir dalam PP Nomor 60 Tahun 2008 yang juga sekaligus menjadi harapan penting kepada APIP dalam memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi dan efektifitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah, memberikan peringatan dini (early warning system) dan meningkatkan manajemen risiko dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah dan memelihara serta meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah. Benarkah kekurangan SDM yang mumpuni dan minimnya anggaran yang tersedia dijadikan alasan (klasik) terhadap keseriusan menciptakan kondisi PBJ yang jujur, transparan dan adil?

 Posisi Lemah UKPBJ

Independensi ULP/UKPBJ selalu menjadi pusat perhatian manakala muncul permasalahan hukum pada PBJ. Umumnya ULP/UKPBJ merupakan instrumen dan hanya menjadi korban dari mata rantai kejahatan yang dikendalikan secara non administratif. Penulis bahkan mendapati adanya oknum orang dalam ULP/UKPBJ yang bisa mengotak-atik 'pembagian'/ mengkondisikan pemenang tender proyek.

Resikonya, ketika kelompok kepentingan merasa tidak puas dengan hasil kerja pokja ULP/UKPBJ maka melalui tangan kekuasaan terjadilah intervensi yang berujung pada pertukaran/rotasi personel ULP/UKPBJ atau dengan kata lain pembersihan/sterilisasi ULP/UKPBJ dari unsur idealis. Apalagi bila dilihat minimnya kesejahteraan dari personel ULP/UKPBJ membuat posisi tawar (idealis) menjadi semakin lemah untuk menjalankan fakta integeritas.

Personel ULP/UKPBJ yang tidak patuh pada intervensi akan mengalami nasib buruk, dipindah atau dinonjobkan. Kondisi yang ada menunjukkan bahwa ULP/UKPBJ nyaris tanpa proteksi sama sekali dari siapapun. Hal ini semakin terlihat ketika terjadi permasalahan hukum. Personel ULP/UKPBJ hanya bermodalkan Perpres sedangkan APH bermodalkan UU/KUHP. Belum lagi ketiadaan dana untuk menyewa pengacara atau menghadirkan saksi ahli.

Tumbal PBJ dan Stressing Hukum

Bagaimanapun juga UU/KUHP mengatur tentang tindak lanjut pengaduan masyarakat. Namun atas beberapa pertimbangan maka APH (kejaksaan dan kepolisian) dengan Kemendagri membuat sebuah MOU yg isinya bahwa semua pengaduan masyarakat harus diserahkan terlebih dahulu kepada Inspektorat Inspektorat Daerah untuk pemeriksan awal, dan apabila hasil pemeriksaan awal menunjukkan adanya tindak pidana yang apabila kerugian negaranya tidak dikembalikan maka kasusnya akan diserahkan ke APH. Hal ini juga telah diatur dalam Perpres nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pasal 77. Namun bagaimana dengan KUHP pada pasal 263 seperti ulasan di atas yang menjerat pejabat pengadaan (PPHP) dan penyedia.

Dapatkah penyedia bungkam dengan dengan cecaran pertanyaan penyidik? Apa motif penyedia melakukan kecurangan dengan mengurangi kuantitas barang sehingga berpengaruh terhadap kualitas pekerjaan. Jawabannya akan mudah ditebak, bahwa penyedia sudah memberikan sejumlah imbalan (fee pekerjaan) kepada pejabat dan panitia pengadaan yang besarannya berfariasi diatas 15%. Lalu, fee pekerjaan tersebut siapa yang menerima? Dan pertanyaan seterusnya dan seterusnya hingga terkuaklah kejahatan PBJ dilakukan secara berjama'ah.

Petisi Sebuah Solusi

Oppps,,, jangan alergi dulu mendengar lema "Petisi". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),  Petisi adalah pernyataan yang disampaikan kepada pemerintah untuk meminta agar pemerintah mengambil tindakan terhadap suatu hal.

Mengapa petisi jadi solusi? Mungkin penulis terlalu baperan (terbawa perasaan) terhadap kondisi ironi pembangunan infrastruktur khususnya jalan cor beton. "Darurat pengawas" di PALI tidaklah bisa dikatakan berlebihan seandainya kita mau fair tanpa tendesi menyikapi persoalan bahkan case by case.

Si empunya kepentingan tegakan aturan sebagaimana seharusnya, itu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun