Mohon tunggu...
Politik

Keluarga Miskin Keluarga Bahagia

31 Mei 2015   09:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:26 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam beberapa pekan terakhir BPS (Badan Pusat Statistik) menjadi sorotan masyarakat Indonesia. Polemik yang terjadi saat pembagian PSKS (Program Simpanan Keluarga Sejahtera) ditengarai oleh buruknya pendataan yang dilakukan. Program yang sejatinya bertujuan untuk membantu kebutuhan finansial keluarga miskin di Indonesia tersebut justru terjadi banyak salah sasaran dalam pembagiannya.

Munculnya program semacam itu dapat disebabkan oleh pendapatan per kapita atau bisa mengacu dari angka Indeks Kebahagian Indonesia. Menurut BPS (2015) berkurangnya angka kemiskinan pada tahun 2014 dibanding 2013 telah meningkatkan Indeks Kebahagiaan Indonesia. Data dari BPS (5/2/2015) yang mencatat indeks kebahagiaan Indonesia tahun 2014 sebesar 68.28 pada skala 0-100, atau meningkat 3,17 poin disbanding tahun sebelumnya yaitu sebesar 65,11.

Indeks Kebahagiaan merupakan indeks komposit yang disusun oleh tingkat kepuasan terhadap 10 aspek kehidupan esensial yang memiliki besaran kontribusi berbeda terhadap indeks kebahagiaan, yakni pekerjaan, pendapatan rumah tangga, kondisi rumah dan aset, pendidikan, kesehatan, keharmonisan keluarga, hubungan sosial, ketersediaan waktu luang, keadaan lingkungan, dan kondisi keamanan.

Hal ini terjadi karena perbedaan penilaian mengenai derajat pentingnya setiap aspek kehidupan terhadap tingkat kebahagiaan secara keseluruhan. Terdapat tiga aspek kehidupan yang memiliki kontribusi paling tinggi, yaitu pendapatan rumah tangga (14,64%), kondisi rumah dan aset (13,22%), serta pekerjaan (13,12%). Tingkat kepuasan tertinggi pada tahun 2014, berkaitan dengan keharmonisan keluarga, sebesar 78,89%.

Angka tersebut bisa menggambarkan tingkat kebahagiaan masyarakat kita dan bisa saja tidak menggambarkan sama sekali. Banyak peristiwa-peristiwa yang begitu komprehensif dalam kehidupan masyarakat. Tentunya BPS, BKKBN, Mensos atau bahkan presiden sekalipun akan begitu kebingungan menjelaskan mengenai bagaimana mengkalkulasikan kebahagaiaan seseorang apalagi kelompok secara nyata.

Di pedesaan misalnya, masyarakat tidak perlu khawatir akan naiknya harga BBM (Bahan Bakar Minyak), bobroknya system pembagian PSKS, korupsi merajalela, atau kondisi politik Negara ini sedang di ujung tanduk. Mereka begitu mandiri dan percaya diri dalam menghadapi tantangan-tantangan dari setiap masalah kehidupan. Jika hanya masalah negara yang terlalu ruwet untuk dipedulikan apalagi sampai membuat tidur tidak nyenyak.

Sikap-sikap seperti itu dinilai oleh beberapa kalangan sebagai sikap apatis terhadap negara. Terlebih lagi bagi kaum yang menganggap diri mereka intelektual yang fasih bagaimana cara menjadi warga Negara yang baik dan benar akan berpendapat ketidakpedulian semacam itu merupakan dosa besar bagi bangsa ini.

Sandiwara yang selalu tersaji di berita nasional tentunya jika dirunut dengan berbagai nilai-nilai kehidupan akan sangat menggelisahkan. Mungkin keadaan social politik juga dapat mempengaruhi tingkat kebahagiaan seseorang. Dengan catatan orang tersebut memang bergelut di dunia sandiwara tersebut. Mengapa angka tingkat kebahagiaan di Indonesia hanya 68,28? Bahkan untuk menyentuh angka 70 terasa begitu sulit. Aspek mana yang menjadikan angka tersebut rendah dibandingkan kenyataan yang ada selama ini. Siapa saja yang menjadi sampel untuk memperoleh hipotesa-hipotesa itu? Seberapa banyak jumlah perbandingan dari sampel orang desa, orang kota, orang kaya, orang miskin, si pendidikan rendah, si berpendidikan tinggi, atau si tukang bermain api politik?

Wajar jika ada beberapa tukang ojek di pengkolan dekat pasar inpres atau bapak-bapak pengayuh becak di sekitar terminal bertanya, “Kapan mereka datang mendata ke kampungku ya?” Seperti halnya keganjilan bagaimana data angka kebahagiaan dari suatu daerah didapat tanpa tahu keadaan sesungguhnya. Dari 10 aspek yang menjadi penilaian dapat tersirat dari pertanyaan beberapa ‘sampel’ warga bahwa terlalu banyak aspek materil yang menjadi pertimbangan paling besar BPS menyimpulkan kebahagiaan dalam bentuk angka. Uang itu salah satu aspek, kecukupan kebutuhan pokok itu aspek, pendidikan itu aspek, dan bagaimana kinerja pemerintah itu juga aspek

. Di sebuah kampung di Jawa Timur ada seorang janda berusia 70 tahun, Mbah Ningsih namanya. Dia hanya mengandalkan beras pemberian tetangga untuk kebutuhan hidupnya. Jika berlebih, maka dapat dia jual atau dibarter dengan beberapa lauk pauk dan sayuran. Namun, saat persediaan beras dari tetangganya kurang maka dia hanya butuh ‘bertamu’ ke tetangganya untuk menawarkan jasanya memotong sayuran dengan imbalan mendapat beberapa potong sayur saja. Tetapi seringkali tetangganya dengan senang hati menawarkan lauk pauk yang ada di dapur mereka untuk Mbah Ningsih secara gratis. Kalaupun harus membantu memotong sayuran dan memasak lauk pauk lainnya, Mbah Ningsih dan tuan rumah akan memanggil tetangga lainnya untuk bersantap bersama di depan halaman rumah. Bahkan terjadi interaksi yang sangat indah di mana tetangga lainnya akan mengambil makanan dari rumah mereka. Ada keuntungan materil yaitu makanannya menjadi beragam, kuantitasnya lebih banyak, gizi bervariasi, dan yang paling penting nilai kebersamaan serta kerukunan akan terjalin hanya gara-gara makanan.

Angka dari indeks kebahagiaan tersebut apakah dapat menjelaskan hal-hal lain yang luput dari riset. Seperti kasus petugas BKKBN mengelengkan kepalanya saat mendata berapa banyak pasangan muda dan belum memiliki penghasilan tetap. Aspek pendapat sangat tidak berlaku bagi pasangan-pasangan muda dengan nasib ketidakjelasan pekerjaan mereka. Saat ditanya dan dianjurkan oleh petugas agar menunda pernikahan merek (dulu) atau jika sudah menikah agar menunda kehamilan akan lebih baik. Maka dengan enteng mereka menjawab “Bapak ini bagaimana, wong syarat nikah itu cuma lima. Ada ijab qobul, mempelai, wali dari wanita, rela, dan sudah waktunya. Gak ada syarat harus jadi PNS. Bapak kok menghalangi kebahagiaan orang ?”

Atau dalam kasus seorang pemuda memilih menjadi pengangguran atau paling bagus sebagai kuli bangunan atau sekedar menjaga took kelontong. Bukan dari aspek pendidikannya yang hanya sampai pada tingkat SMK, tetapi pertimbangan pribadi yang membuatnya ‘senekad’ itu. Dia bahkan pernah merantau ke Sumatera, Bali, Jakarta dan daerah metropolitan lainnya. Hasilnya lumayan, sehari dia pernah mampu membeli tiga bungkus rokok. Dia mengungkapkan tentang alasan jalan hidupnya adalah saat dia punya banyak uang, dia rajin mabuk dan dengan mudah membeli narkoba. Terkadang bermain perempuan. Dia lebih bahagia tidak melakukan hal tersebut karena dia tahu batasan dirinya. Untuk mencegahnya hanya satu cara, uangnya harus sedikit.

Keberanian-keberanian atau dapat dikatakan kebodohan tersebut sangatlah sulit dicerna oleh pandangan mainstream selama ini. Bangsa Indonesia adalah bangsa dengan rakyat paling bahagia. Bangsa dengan kemampuan tingkat tinggi untuk mengolah keterbatasan menjadi suatu kebahagiaan. Kekurangan dari penilaian berdasarkan aspek-aspek yang adalah dominasi penilaian secara kuantitas. Kebahagiaan itu berada di wilayah kualitas. Jika seseorang memiliki gaji 1 milyar belum tentu dia lebih bahagia dari tukang becak yang berpenghasilan 10 ribu sehari. Seringkali saat bahagia oleh satu aspek kehidupan maka aspek lainnya menjadi tidak penting bahkan dirasa tidak ada.

Misalnya ketika mendengar lagu dangdut di acara televisi swasta, ada orang yang lupa dengan banyaknya hutang yang dia tanggung. Padahal anak-anaknya sampai harus ‘kabur’ ke negeri tetangga sebagai TKI. Apa yang lebih tinggi dari kebahagiaan ? Meskipun pada tingkat hanya 20 dari skala 0-100 yang namanya bahagia tetaplah bahagia. Indonesia tidak pantas jika kebahagiaan mereka hanya dinilai tak lebih dari 70. Lebih rendah dari nilai minimal kenaikan kelas anak SD. Dengan catatan kalau memang benar kebahagiaan itu dapat dikalkulasikan.

Lantas, apakah kebahagian dapat diukur dengan angka? Meskipun hal tersebut memang dibutuhkan pemerintah untuk menentukan kebijakan bagi rakyat. Rakyat yang menjadi sampel. Rakyat yang mana dan sampel masyarakat yang mana? Tentunya juga mempengaruhi kebijakan apa yang akan diambil nantinya bukan? Saya menyarankan untuk tahun ini juga ada indeks kebodohan Indonesia, indeks keimanan Indonesia, Indeks keabsurdan Indonesia, Indeks kelatahan Indonesia, indeks transisi Indonesia, dan indeks keluguan presiden Indonesia.

(Diolah dari berbagai sumber)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun