Mohon tunggu...
Cerpen

Jamal

31 Mei 2015   09:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:26 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hanya orang bodoh yang merasa dirinya pintar. Jamal masih memendam kecewa setelah malam minggu kemarin dia dipermalukan di depan teman-temannya. Tidak pernah dia membayangkan akan memelihara perasaan benci, entah untuk beberapa lama. Biasanya Jamal akan cepat melupakan hal-hal semacam itu setelah permen di mulutnya ludes. Setahun yang lalu dia memutuskan untuk berhenti merokok dan beralih ke permen sebagai gantinya. Terkadang otaknya memikirkan untuk memproduksi rokok rasa permen atau permen rasa rokok. Satu yang terpenting dari ide tak bergunanya itu adalah tidak ada asap yang ditimbulkan. Sehingga tidak ada lagi omong kosong tentang perokok aktif dan pasif, iklan merokok itu membunuhmu (maca lagu saja), atau para aktivis lingkungan bersusah payah membuat mulutnya berbusa akan bahaya rokok bagi kesehetan. Hei, tunggu dulu, bukankah mereka aktivis lingkungan seharusnya memandang dari perspektif bahaya rokok bagi lingkungan ?

Mengapa mereka merasa sok tahu tentang kesehatan ? Apa iya setitik rokok yang tidak dihisap ini akan membusukkan paru-paruku ? Jika mereka memang peduli lingkungan, mengapa tidak sekalian saja mengkampanyekan knalpot membunuhmu ? Bukankah lebih banyak polusi yang ditimbulkan oleh pantat kendaraan itu ? Sudah sepandai apa mereka ? Mengapa tidak berpikiran bahwa dari rokok tersebut para petani harus menanam tembakau. Tumbuhan. Kalian tahu, aku juga tahu, guru SD bahkan murid SD mungkin sudah sangat fasih kalau setiap tumbuhan akan mengeluarkan oksigen. Apa yang kalian hirup ? Pikiran kalian kemana ? Lebih banyak mana oksigen yang dihasilkan dari satu tanaman tembakau dibandingkan karbondioksida dari sepuntung rokok atau pantat kendaraan kalian ?

Aku tidak membicarakan pantat kalian yang lebih jujur dari mulut kalian itu. Jangan-jangan para petani dan pemilik modal itu justru yang paling peduli lingkungan daripada kalian yang menganggap peduli lingkungan. Mereka dengan sadar menanam penghasil oksigen, membuat hijau pemandangan. Hidup mereka sungguh jauh dari hiruk pikuk lalu lalang kendaraan bermotor di kota. Mereka bukan orang miskin yang sepertinya tidak sanggup hidup di kota. Mereka juga bukan orang bodoh dan lebih dungu dari anak kuliahan. Ya mahasiswa yang datang pada pertengahan tahun mengajari petani cara bercocok tanam yang baik dan benar. Lucunya lagi seperti seorang bayi yang baru belajar merangkak mengajari orang dewasa untuk berlari.

Belum lagi kegelian Jamal ketika mendengar orang berdasi dengan yakinnya mengeluarkan standar nikotin yang ideal dalam tembakau untuk diolah. Otakmu di mana ? Bagaimana mungkin petani itu bisa menentukan kadar tembakaunya sendriri ketika masih berbentuk biji. Lagi pula bukankah setiap daerah pasti memiliki intensitas cahaya, suhu, kadar oksigen terlarut, hama, kesuburan tanah dan setiap zat-zat penyokong baik tidaknya tanaman. Tanpa pupuk kimia. Begini saja, apa saudara bisa membuat standar kecerdasan otak manusia Indonesia ? Saya rasa itu hamper sama dengan pertanyaan para petani tembakau yang mogok tempo hari. Hahahaha. Jamal tersenyum sendiri. Dia tidak sadar jika ada anak kecil yang sedari tadi memperhatikannya cengar-cengir seperti orang gila yang duduk di teras.

....

“Jok, kamu punya nomor Ida ?”

“Nomor ? mal mal. Kamu itu kuno sekali ! sekarang jamannya pin bro pin bro.”

“Punya enggak ?” Tanya Jamal tanpa peduli dengan ejekan Joko.

‘Ida si penjual bakso itu kan ?”

“Lebih tepatnya di yang bantu jualan bakso Mak Buya.”
“Ya ya, kamu itu memang rewel.” Sahut Joko sambil memeriksa Smartphonenya.

Ida seorang gadis manis di kampung Kali. Jika dilihat dari wajahnya mungkin standar cantiknya orang kampong. Ketika dia tersenyum lesung pipinya tersungging manis. Seakan-akan siapapun yang melihatnya minimal akan tersandung jatuh sebelum melanjutkan perjalanan ke kedua bola matanya.

Jamal menilai secara subjektif bahwa mata Ida cukup indah. Sesekali tampak sayu, terkadang tampak begitu besar dan bercahaya ketika tak sengaja berpapasang dan saling pandang. Belum lagi saat Ida menjemur pakaian di halaman rumah Mak Buya. Seperti di film-film mainstream dengan visual efek sinar matahari dan angina sepoi-sepoi khas suasana jam 9 pagi. Mata indah gadis itu begitu memancar. Keringat bercucuran dari dahi Ida. Apalagi dadanya, sssttt.

“Ada nih mal. Tapi aku gak bakal ngasih ke kamu.”

“Kenapa ?”

“Kemarin lusa Bang Jaka aku kasih duluan.”

“Ngapai duda tua Bangka itu minta nomor Ida ?”

“Mana aku tahu. Lagian kalau dia gak ngasih aku 50 ribu mungkin aku gak akan ngasih nomor Ida.”

“Kamu gak mungkin melakukannya.”

“Melakukan apa ? Penerimaan suap ? Mengapa kamu gak percaya ?”

“Aku ingat betul sifatmu. Apalagi gerak-gerikmu Joko !”

“Sok tahumu kambuh. Ada orang yang mengatakan apa yang dia lakukan. Ada orang yang tidak mengatakan apa yang dia lakukan. Ada orang yang mengatakan apa yang tidak dia lakukan. Ada orang yang tidak mengatakan apa yang tidak dia lakukan. Jika kamu hapal, aku termasuk yang mana ? kita sudah berteman sejak mengaji ke ustad dulu. Saat kita kelas 2 SD.”

“Tergantung. Seringkali semua yang kamu sebutkan itulah sifatmu.” Jawab Joko datar.

Kisah dan nasib kampong kali kurang lebih mirip dengan sebuah kota kecil yang dikisahkan di film Cars. Jika hendak menuju ke kampong itu dari arah timur, kalian akan sampai ke jalan raya yang bercabang. Seperti huruf Y yang tidak seimbang besar kecilnya garis di di setiap cabangnya. Oh ya, biasanya orang desa lebih suka menunjuk arah mata angin daripada mengatakan arah kiri atau kanan. Jangan berharap akan diarahkan harus belok ke kanan atau ke kiri saat alamat yang kalian tuju harus melalui persimpangan. Apalagi akan menunjukkan nama jalan. Itu hal yang mustahil.

Setelah sampai pada jalan Y tadi, ada dua opsi. Ambil jalur kiri maka keramaian kota yang akan dijumpai. Jalur kanan adalah kedamaian di setiap tepi jalanan. Tempat Jamal menikmati masa-masa penganggurannya. Baginya, pekerjaan paling berat adalah menganggur. Namun, tidak bagi Joko. Menurutnya pengangguran adalah sebuah tugas mulia yang sengaja Tuhan berikan kepada pemuda macam mereka. Hanya lulusan SMP. Semakin banyak waktu luang maka semakin banyak waktu untuk bermesraan dengan kasih sayang Tuhan. Jauh dari kesibukan dunia.

Jamal seringkali muntah berada di kampung tempat kelahirannya. Bukan karena lapangan sepak bola kini jadi tempat sampah raksasa di kampungnya. Tetapi perkataan Joko yang membuatnya muak. Meskipun tanpa Joko ketahui Jamal sering sepakat dengan pemikirannya. Pada malam jum’at, kadang-kadang senin malam. Biasanya kliwon. Jamal sehabis menonton bokep selalu merenung. Bukan bentuk penyesalannya karena dia begitu berani menganggap Tuhan tidak tahu.

Jamal begitu sadar setelah mengetahui adanya teknologi CCTV yang terpasang di setiap kelas di sekolah sepupunya Linda. Mata manusia adalah ‘kamera tersembunyi’ Tuhan untuk mengetahui gerak gerik manusia, dan hati merupakan sebuah software tercanggih untuk mendeteksi setiap virus yang ada dari seluruh aplikasi kehidupannya. Dan otak manusia adalah motherboardnya. Dengan software dan hardware secanggih itu rasanya pasti dengan mudah Tuhan mengunduh detail-detail hidupnya. Namun, mengapa tidak berhenti menonton bokep sambil membayangkan Ida ? Bukankah aku sudah sadar, paham betul, dan begitu yakin atas kebenaran pikiran itu ? Jangan-jangan jika Jamal berhenti, mungkin dia sudah enggan pergi ke masjid setiap magrib.

..

Urbanisasi, banyak pemuda yang melakukan kegiatan ini. Menurut buku LKS halaman 3 alinea kedua urbanisasi adalah proses pindahnya individu bahkan kelompok masyarakat desa ke kota. Faktor-faktornya antara lain ekonomi, sosial, budaya, bencana alam dan penyakit. Dalam menyikapi hal ini Jamal dan Joko begitu tenang dan dingin. Bukan tanpa alasan tentunya. Pernah suatu hari di malam minggu pada bulan Desember tahun lalu mereka bertemu dengan Haris. Pemuda desa berkulit putih, tubuhnya kurus, rambutnya klimis seperti presiden. Kecuali presiden keempat.

Di antara deretan warung kopi dan odong-odong. Satu tempat paling ramai adalah warung kopi Bik Ya. Sebutan Bik adalah singkatan dari bibi di kampung Kali. Letaknya di ujung timur trotoar. Bukan paling ujung karena di sebelah timurnya lagi terdapat pos polisi lalu lintas. Pak Burawi dan Satrowi selalu bertugas di malam minggu. Usia mereka ditaksir sekitar 45 tahun. Warung kopi ini hanya memiliki satu keistimewaan. Berseberangan dengan warung bakso Mak Buya. Rumus sederhanaa dari pelanggan yang mayoritas anak muda, terutama pengangguran adalah adanya gaya saling tarik menarik antara Mak Buya dan bakso sama dengan Ida. Pikiran anak muda ini kompak mengibaratkan kedua objek tadi seperti dua buah titik dalam segitiga sama sisi di mana ujung paling atas adalah Ida.

“Kerja di mana ris ?” Tanya Tono. Pemuda bertubuh tinggi besar dengan kulit hitam. Teman-temannya menyebut dia bulak. Sebuah warna seperti baju yang warnanya luntur. Padahal jika jujur dan lebih kejam, kulit Tono sama sekali gelap.

“Aku kerja di pabrik sepatu di Suralebah,” jawab Haris.

Di warung Bik Ya ada sekitar 7 orang yang tidak pernah absen setiap malam minggu. Siapa lagi jika bukan Jamal Cs.

“Jok, malam minggu Januari tahun depan kamu akan lihat Ida di sampingku minum kopi di sini.” bisik Jamal ke pada Joko.

“Mal, bukankah kamu tidak memakai kuningan atau putihan seperti kami ? Atau jangan-jangan kamu diam-diam membelinya dari Edi ?.”

“Aku gak serendah itu Jok. Meskipun kalian memakai pil rendahan itu aku tahu kalian orang baik.”

“Oke oke, aku amini saja. Ida mungkin lebih suka pria seperti Haris daripada Jamal si pengangguran.”

“Ida lebih suka aku Jok, percayalah,” kata Jamal begitu meyakinkan.

.”Bro, jangan omongan yang jadi bukti. Tapi buktilah yang berbicara,” kata Joko sambil menepuk pundak Jamal.

“Burung Haris kecil.”

“Dari mana kamu tahu ?” Tanya Joko dengan mengernyitkan dahinya.

“Lihat saja, kulitnya putih. Dia loyo bisanya cuman duduk manis di kantornya. Mana ototnya ? Bulu ketiaknya juga jarang. Pasti burungnya kecil,” jawab Joko.

“Uangnya banyak, wanita seperti Ida lebih butuh jaminan dapurnya mengepul daripada kepuasannya di ranjang.”

“Aku lebih cerdas darinya.”

“Sudahlah.”

Tanpa diperkirakan oleh Joko sebelumnya, Jamal menghampiri Haris yang duduk bersila di sebelah Tono dan empat orang lainnya, Riski, Fauzi, Hambali, dan Nuris.

“Hei ris, aku pingin nanya sesuatu,” kata Jamal.

Jantung Joko berdebar kencang menduga-menduga hal konyol apa yang akan dilakukan temannya. Tampak Tono dan Nuris sudah mengepalkan tangan kanannya, bersiap-siap akan suatu hal yang akan terjadi selanjutnya. Riski dan Fauzi bingung apabila terjadi keributan akan membela siapa. Mungkin kebingungan tersebut juga dirasakan oleh Tono dan Nuris. Joko malah lebih memilih mengamankan warung dan Bik Ya dari kebodohan kawan-kawannya.

“Tanyakan saja,” jawab Haris tenang. Kopi tubruk racikan Bik Ya dia sruput meninggalkan jejak ampas kopi di kumis tipisnya.

“Hasil kerjamu yang kamu tunjukkan ke kami. Akan kamu apakan ?” tanya Jamal.

Pertanyaan bodoh macam apa itu. Pikir Joko. Bahkan bocah SD pun tahu uang itu untuk apa, atau di usia seperti ini mungkin bisa untuk modal kawin. Atau jangan-jangan Jamal telah berpikir hal itu. Karena sejak pertama datang, Haris selalu mencuri pandang ke Ida di seberang jalan sana. Apalagi dia melirik sambil tersenyum. Menampakkan gigi kuning akibat nikotin dan kafein.

“Oh, uangku yang banyak akan aku tabung nanti,” jawab Haris.

“Lalu jika hanya kamu simpan dan tak membiarkan uangmu berkurang lantas apa bedanya orang yang memiliki uang banyak hanya untuk disimpan dan jangan sampai berkurang sedikitpun dengan orang yang tidak memiliki uang sama sekali ?”

“Tentu ada ! Uang yang banyak itu akan kubelikan macam-macam dan itulah perbedaannya dari orang-orang yang memiliki uang sedikit.”

“Tanganmu Cuma dua ris, pikirkan itu,” kata Jamal.

“Maksudmu ?” tanya Haris.

Joko tersenyum melihat Jamal begitu cerdik, dia tahu betul apa yang dimaksud temannya itu. Dia baru teringat cerita Jamal 3 hari yang lalu. Haris pemuda yang cerdas, pintar cari duit, aku akui lumayan tampan. Kata Jamal. Tetapi aku sangat sedih melihat Mbah Ina tetangga di depan rumahnya. Janda tua itu sudah tidak bisa bekerja mencari kayu atau paling tidak meminta sayur bening ke tetangganya. Jadi, setiap hari aku ditugaskan oleh mbah utiku untuk mengantarkan makanan ke rumahnya. Padahal rumahku berjarak 3 RT dari selatan. Cerita itu cukup masuk akal mengingat pernyataan metafor Jamal kepada Haris.

….

“Ida, minggu depan aku traktir kopi Bik Yam mau ?”

“Hmmm, bolehlah mas. Daripada tiap sore kita duduk di tepi sungai gini.”

“Soal Mak Buya ?”

“Bisa aku atur mas.”

….

Banyak yang membicarakan dada Ida yang besar. Menurut beberapa tukang ojek di pertigaan pasar Ida kayak artis dangdut di orkes kawinan kampung Batu. Bagi Jamal bukan besarnya dada gadis impiannya itu yang membuatnya tidak bosan berprasangka baik tentang Ida. Buah dada hanyalah sepasang organ penyambung kehidupan dan penguat tulang bayi-bayi manusia, termasuk dirinya, Joko, dan Ida. Ini bukan tentang cinta segitiga. Pernah sesekali Jamal malah membayangkan dada Ida mengecil atau bahkan tampak rata seperti miliknya. Joko pernah protes atas gagasan Jamal.

Joko beranggapan kebesaran dada Ida itulah yang membedakan dia laki-laki atau perempuan. Jamal dengan ketus menjawab, apa si petugas pembuat KTP itu harus melihat ke dada orang dulu agar tahu jenis kelaminnya. Kalau soal cinta, menurut Jamal hati manusia tidak berjenis kelamin. Cinta itu masalah substansi, bukan bentuk. Bagaimana mungkin kamu dapat mencintai nabi yang berjenis kelamin laki-laki dan Tuhanmu yang tidak berjenis kelamin ? Kali ini Joko kalah telak. Dia begitu heran kapan temannya bisa secerdas itu. Karena buah dada Ida ?

….

“Ningsih dan Kirana tergila-gila padamu mal,” kata Joko.

“Aku tahu itu.”

Mereka berdua sedang mengaduk adonan pasir dan semen. Pak Sumantri kepala Desa Kali meminta bantuan beberapa pemuda untuk membuat Sembilan kolam ikan di halaman belakang rumah istri mudanya.

“Lantas mengapa kamu tidak memilih salah satu atau kamu bisa ambil keduanya mal !” seru Joko

“Aku tidak akan meninggalkan Ida.”

“Ida bukan milikmu dan Ida tidak pernah bersamamu.”

“Di dalam hatiku aku bersamanya, setidaknya di sebuah ruang kosong aku menempatkannya.”

“Ningsih cantik, seksi, dia model. Kirana rajin mengaji dan dia perawat.”

“Aku mencintai Ida.”

“Ida sudah tahu ?”

“Jok, ada orang yang mencintai dan dia mengatakannya, ada yang tidak mencintai dan dia mengatakannya, ada yang mencintai dan tidak mengatakannya, da nada yang tidak mencintai dan tidak mengatakannya. Satu lagi Jok… “

“Kamu mencintai dan kamu tidak mengatakannya, Ida tidak tahu kau mencintainya.”

“Aku takut Jok,” kata Jamal.

“Takut apa ? Bukankah Bang Jaka saja berani kamu lawan. Dia preman.”

“Dada Ida besar, terlalu besar.”

“Ketakutanmu akan tidak bisa hidup dengannya yang lebih besar daripada dada Ida.”

“Keluarga Ida terlilit hutang dari lintah darat. Kedua orang tuanya merantau ke Malaysia.”

“Dan kamu pengangguran.”

“Lebih tepatnya kita”

Hahahahahahaha mereka tertawa serentak. Orang-orang di sekitar melihat dengan pandangan sinis. Dua pengangguran tertawa lepas.

Jamal pernah membaca kutipan tentang cinta. Kurang lebih “Cinta sejati adalah di mana keduanya tidak saling smsan, teleponan, bbm-an. Tetapi diam-diam saling mendoakan.” Membaca kutipan semacam itu membuat mata Jamal menjadi merah membara.

“Cinta sejati itu di mana keduanya tidak saling berhubungan dan tidak saling mendoakan. Tetapi diam-diam si lelaki menaruh harapan dan si wanita memilih duda bangkotan,” kata Jamal.

“Udahlah mal, Ida sudah milik orang lain.,” Joko menanggapi pernyataan Jamal yang samar-samar terdengar. Suara mereka tidak dapat terdengar dengan jelas. Motor dengan knalpot berbunyi laknat memaksa mereka harus mengeluarkan urat leher masing-masing ketika berbicara.

Ida hanya gadis kampung biasa. Seperti anggapan tentang kampung yang biasa. Tidak nampak gemerlap di setiap sisinya. Wajah Ida juga begitu, gincu merah hanya mampir pada bibirnya saat acara kondangan saja. Selebihnya dia sama saja dengan gadis lainnya. Telinga dia dua, terletak di sisi kanan dan kiri kepalanya. Hidungnya juga, hanya memiliki dua lubang. Tetapi dadanya yang berbeda. Besar dan tampak gagah menggantung di dadanya. Dada Ida menunjukkan sisi machonya daripada sisi feminimnya. Seakan-akan dari kedua benda itu akan muncul sinar harapan. Seperti gambar anak TK yang khas dengan dua gunung dan matahari bersinar sambil tersenyum di antaranya.

Jamal begitu menyukai matahari itu. Matahari yang terletak di antara dua gunug Ida. Dia begitu menikmati saat-saat ketika dapat melihat matahari harapan itu. Pusat perhatian sesungguhnya adalah pada sinar tersebut. Karena besarnya gunung tidak dapat menghalangi indahnya sinar jiwa Ida.

Bagi Jamal dada Ida tidak istimewa. Tidak ada yang menarik dari bongkahan daging-daging itu. Setiap gadis punya dan bentuknya sama saja. Perbedaannya hanya pada bagaimana benda itu selalu ditutupi dan tidak ditonjolkan atau ditutupi dan sengaja ditonjolkan. Karena menjadi sebuah hakikat bagian itu yang menjadi rahasia milik setiap gadis. Meskipun ukurannya berbeda.

Teman-teman Jamal begitu kesal dengannya. Ketika mereka membincangkan buah dada Ida yang begitu menggiurkan, Jamal selalu berkata lain dan tidak satu visi dengan teman-temannya.

“Di balik dadanya adalah keanggunan yang sesungguhnya !”

“Kamu buta Mal !”

“Justru mataku yang paling tajam. Mata batinku melihatnya.”

“Jangan-jangan kamu homo.” Kata Tono mengakhiri perdebatannya dengan Jamal. Semuanya tertawa mendengar perdebatan Tono dan Jamal.

Andai saja telinga Ida yang selalu dia sembunyikan setiap hari. Bukan hanya Ida, tetapi gadis lainnya juga menyembunyikan telinga mereka. Apa iya laki-laki akan membicarakan telinga para perawan yang mereka jumpai. Atau paling tidak apakah telinga yang disembunyikan itu membuat si pria begitu bernafsu untuk memiliki si wanita meskipun hanya satu malam saja? Bagaimana jika hidung setiap gadis di kampung dan kota selalu mereka tutupi dari mata lelaki? Bagaimana dengan organ tubuh wanita lainnya selain dada itu yang ditutupi?


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun