Mohon tunggu...
Pendidikan

Saya Sekolah Karena. . . .

31 Mei 2015   09:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:26 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dilema akan melanda saat menyaksikan berita di televisi. Jika tidak menyimak maka akan ketinggalan informasi yang mungkin sangat penting. Namun di sisi lain melihat berita itu membutuhkan kontrol emosi yang sangat mumpuni. Saya menjadi tambah bingung untuk memutuskan acara berita yang saya tonton setiap harinya. Selalu ada pertanyaan mengenai acara tersebut. Apalagi akhir-akhir ini begitu sulitnya membedakan mana berita mana iklan. Karena berita sekarang seperti iklan. Tinggal memberitakan suatu hal secara terus menerus maka hal itu akan laku keras di pasaran. Saya beri contoh awal tahun lalu, batu akik. Alasannya sederhana, jualan.

Tidak perlu menjadi pengamat politik unutk mengatakan bahwa partai politik itu kekanak-kanakan. Sepak bola yang carut marut tidak membutuhkan seorang legenda Piala Dunia untuk sekedar menilai ada mafia lama dikeluarkan maka mafia baru akan dimasukkan. Kasus korupsi oleh pejabat juga menyebalkan. Mereka rela mencuri demi berkencan dengan biduan ibu kota, membelikan istrinya pakaian mewah atau hanya gara-gara takut tidak bisa makan.

Dari berbagai penyelewengan itu ada banyak faktor yang melandasi. Para pakar sosial ekonomi pasti akan mengatakan ada faktor ekonomi, lingkungan, budaya,  eksistensi dan lain sebagainya. Saya beranggapan bahwa faktor tersebut benar, tetapi bisa saja tidak tepat atau malah salah. Alasan seseorang mencalonkan diri menjadi pemimpin sebuah daerah akan dia katakan saat diwawancarai oleh seorang wartawan. Biasanya alasannya adalah untuk mengabdi pada rakyat. Setelah beberapa tahun dia menjabat, diketahui dia melakukan korupsi pada proyek-proyek penting di daerah yang dia pimpin. Barulah alasan mengapa dia ngotot mencalonkan diri diketahui. Hanya untuk mencari uang. Alasan tersebut cukup sederhana dan tidak perlu diperdebatkan lagi bagaimana faktor-faktor lainnya memengaruhi.

Dari berbagai gambaran dari pemberitaan di televisi tersebut telah diketahui bahwa sebenarnya mereka melakukan tindakan-tindakan menyimpang demi sebuah unsur sederhana. Entah itu untuk arisan setiap minggu dengan istri pejabat lainnya. Atau hanya untuk meminang seorang wanita pujaannya dengan iming-iming harta melimpah. Ada juga seorang ibu-ibu tega membunuh suaminya hanya gara-gara tidak terima anaknya dijewer.

Jelas kita ketahui bahwa tindakan-tindakan di atas sangat negatif. Terjadi kontradiktsi antara sebab dan akibatnya. Lalu bagaimana dengan kehidupan kita yang sederhana ini? Tidak pernah diliput media hanya karena potong rambut di salon anu, masuk selokan jalan anu atau makan pecel di warung bu Anu. Alasan seperti apa yang sebenarnya menjadi penyebab kita melakukan berbagai kegiatan.

Saya masih ingat bagaimana dulu ayah saya membelikan koran setiap hari hanya untuk membuat anaknya gemar membaca. Meskipun jika dijabarkan lagi akan sangat panjang mengapa koran, apa itu akan sesuai dengan anak berusia 4 tahun dan belum sekolah. Hingga mengapa tidak diberikan komik atau majalah anak-anak saja. Ayah saya sebenarnya tidak tahu anaknya tidak menyukai komik. Saya juga tidak tahu kalau ternyata harga majalah anak-anak sama dengan jatah makan saya dua kali. Ada faktor lain mengapa harus koran. Koran itu murah jika dilihat dari situasi ekonomi nasional saat itu (tahun 1998). Koran juga sangat mudah diakses oleh ayah karena beliau memiliki kawan seorang looper koran.

Saya begitu kesulitan untuk mengatakan cita-cita saya. Mulai Taman Kanak-kanak selalu saja guru, kerabat, tetangga dengan bersemangat menanyakan “apa cita-citamu?” Saat berusia 4-6 tahun waktu itu saya tidak tahu apa cita-cita saya. Untuk mencari aman dari cercaan guru yang nertugas mencatat cita-cita anak didiknya di dinding maka saya jawab sekenanya. Eksekutif muda menjadi pilihan terbaik saya. Bukan karena saya ingin menjadi konglomerat pada suatu hari nanti. Tetapi kata itu saya jumpai pada berita di koran langganan ayah.

Cerita tersebut masih segar diingatan seperti bagaimana saya pernah diusir dari kelas saat kelas satu dulu. Alasannya sederhana, karena saya bercerita dengan semangat kepada kawan-kawan saya tentang kehidupan remaja di Amerika. Cerita itu berlanjut ke tokoh Abraham Lincoln yang saya temui di perpustakaan sekolah. Terpaksa ruang dingin kepala sekolah menjadi ruang kelas baru saya. Alasannya sederhana, saya dianggap berbahaya sebagai anak berusia 6 tahun.

Untuk kali ini mungkin akan sangat subjektif tentang penilaian sebuah ‘alasan’. Saya sangat sadar bahwa menggunakan sudut pandang ‘saya’ memiliki satu kelemahan. Kelemahannya adalah sudut pandang menjadi sempit. Tetapi tidak apa-apa karena ini hanya tulisan sederhana. Bukan tulisan ilmiah yang harus mengutip tokoh-tokoh penemu dunia. Bagi saya menulis itu hanya agar tidak lupa apa yang pernah saya pikirkan atau saya baca. Seperti halnya membaca, alasannya hanya karena saya ingin membaca.

Geli rasanya mengingat nasihat orang-orang tua dan sahabat saya ketika menanggapi alasan dari setiap tindakan saya. Cita-cita yang pernah terlontar dari mulut anak SD dulu lebih sering ingin menjadi pemain sepak bola. Orang lain akan mengira anak ini ingin menjadi orang terkenal macam Bambang Pamungkas. Padahal sebenarnya hanya karena sepak bola yang menjadi kegiatan paling menyenangkan bagi anak kecil inis. Sehingga dia berpikir akan sangat mengasyikkan saat melakukan pekerjaan menyenangkan sepanjang hidupnya.

Hingga akhirnya mengenal apa itu uang, cinta ke lawan jenis, orang terkenal, dan seks. Cita-cita menjadi sering berubah. Orang bijak sebelah rumah tidak henti-hentinya berkata cita-cita itu satu dan kejarlah hingga kamu raih. Lalu setelah diraih akankah ada cita-cita lain? Sudah selesai kan perjuangannya. Maka buru-buru orang bijak sebelah tembok rumah saya menyatakan pertahankan apa yang kamu raih nak. Sebenarnya dari penjabaran orang sebelah ini cita-cita itu dia definisikan sebagai apa?

Jika sesuatu yang harus didapat itu namanya tujuan. Tetapi apabila harus dipertahankan maka akan disebut jalan. Karena mempertahankan itu identik dengan konsistensi. Dalam perjalanan yang panjang akan sangat membutuhkan sebuah konsistensi. Saya lebih menyukai menyebut cita-cita itu sebuah jalan dan persinggahan. Terlalu tinggi jika menyebut itu sebuah tujuan. Dan bisa jadi saya akan menjadi orang malas setelah mendapatkannya. Cita-cita itu sebuah alasan. Sebuah alasan itu seperti jalan. Membantu untuk menemukan tujuan.

Setiap orang memiliki tiga fase untuk setiap perbuatannya. Fase pertama adalah untuk mencari uang, tahta, makan dll. Fase kedua adalah untuk cinta. Fase yang ketiga adalah kesadaran untuk memberi.

Mengkualifikasikan fase tersebut tidak sengaja saya simpulkan saat muncul pertanyaan dari seorang kawan saya. “Apa rencanamu kuliah di jurusan itu?” Saya tidak menjawab pertanyaan itu dengan menjawab “Itu rahasia.” Saya tahu dia tidak akan percaya jika saya mengatakan dengan polos “Saya kuliah di sana hanya karena penasaran.”

Alasan ini belum saya ketahui berada di fase mana. Tidak seperti waktu SD dulu, alasan untuk masuk sekolah setiap hari hanya karena ingin bermain dengan teman-teman. Mana mungkin sahabat saya ini juga akan percaya saya masuk di SMA itu hanya karena ingin bertemu seseorang setiap harinya? Seorang kakak kelas waktu SMP dulu. Meskipun secara sadar saya mampu untuk sekolah di kota. Sehingga di tahun terakhir SMP saya harus melakukan konspirasi untuk menurunkan nilai rapot saya. Sederhana, agar ibu berhenti membujuk saya sekolah di kota. Saat ini saya ingin melakukan semua hal dalam fase kedua. Baik itu mengapa saya sekolah maupun bekerja hingga interaksi dengan Tuhan.

Ah, bodoh jika beranggapan Tuhan bisa kecewa. Ternyata saya solat hanya karena pingin duitNya, agar dimasukkan ke instansi Anu, atau agar bisa menjadi pejabat tangan besi yang didewakan. Bagaimana jika anda ingin saya nikahi hanya karena ingin uang, eksistensi, dan karena anda cantik sehingga saya dikatakn sebagai orang beruntung. Apa yang akan anda rasakan jika ternyata saya menjalin interaksi dengan alasan-alasan itu? Kalau saya bisa memilih dengan siapa saya jatuh cinta maka alangkah baiknya saya mencintai orang lain atau tuhan yang lain. Jika memang tuhan yang lain itu ada atau saya dapat memilih ingin mendapatkan cinta dari orang lain jika orang lain itu ada dan saya dapat memilih. Sayangnya ini bukan pilihan yang beralasan.

Saya ingin bersekolah karena sekolah. Saya mencintaimu karena cinta itu sendiri. Atau saya ingin menunggu karena saya ingin menunggu. Karena saya tidak mampu sekolah demi kejayaan Indonesia, kesejahteraan rakyat atau demi anak tetangga saya yang tidak mau sekolah. Ketidakmauan yang disangka orang ketidakmampuan. Hal ini saya tahu dari beberapa kawan saya yang tidak mau sekolah bukan karena ibunya tukang cuci tetapi hanya karena dia suka mencangkul di sawah yang hijau atau suka membantu merapikan parkiran pasar. Jikapun saya akan bersekolah lagi mungkin hanya karena ingin menemui seseorang. Itu sangat menyenangkan dan membahagiakan.

Setelah mendapatkan apa yang orang-orang katakan cita-cita. Akankah muncul cita-cita lain? Katanya cita-cita itu satu? Ini perselingkuhan namanya. Perselingkuhan itu bukan hanya menyakitkan tetapi menghina.

Karena saat menemukan yang satu seharusnya kita sudah berhenti. Perjalanan sudah berakhir pada tujuan. Jangan kemana-mana. Itulah mengapa saya begitu kebingungan saat ditanya apa alasan saya tentang ini itu. Jawabannya akan berbeda untuk setiap orang yang menanyakan. Alasannya sederhana, agar saya tidak dikira sebagai orang yang tidak memiliki cita-cita (alasan). Cita-cita itu adalah sebuah alasan yang beralasan bagi saya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun