Â
Hujan turun sore ini, seperti biasa. Malang seolah tak pernah kehabisan alasan untuk basah. Tapi hari ini terasa berbeda. Ini mungkin hujan terakhir yang kusebut sebagai hujan di kota yang kutinggali, bukan sekadar singgahi.
Aku masih ingat betul, hari pertama datang ke kota ini. Membawa satu koper, satu ransel, dan segenggam rasa takut. Tak kenal siapa-siapa, tak tahu arah jalan. Tapi percaya, entah kenapa, bahwa Malang akan menuntunku tumbuh.
Dan benar saja.
Aku mulai mengenal dunia dari kota ini. Dari bangku-bangku plastik di warung kopi pinggir jalan, tempat aku dan teman-teman duduk berlama-lama, menggenggam gelas kopi panas sambil menghisap rokok yang kadang dibagi dua. Kami membicarakan hal-hal besar dengan bahasa sederhana: tentang kuliah, cinta, keresahan, dan masa depan. Malam jadi panjang, tapi tidak pernah terasa sepi.
Masuk organisasi waktu itu adalah langkah nekat tapi justru di sana aku menemukan keluarga baru, tempat pertama aku belajar mendengar lebih dalam dan bicara lebih jujur. Mereka membawaku mengenal ruang-ruang yang sebelumnya asing: diskusi-diskusi kritis, kerja kolektif, rapat sampai larut, hingga turun ke jalan. Aku menemukan diriku di tengah mereka.
Dan soal makanan, oh... Malang mengajarkanku mencicipi dunia. Dari cwie mie yang lembut, sego sambel yang pedasnya kejam, sampai bakso Malang yang terasa seperti pelukan di hari dingin. Banyak dari makanan itu tidak pernah kusentuh sebelumnya tapi di sini, semuanya jadi bagian dari proses belajar mencintai hal-hal kecil.
Malang memberiku teman. Memberiku ruang untuk gagal. Memberiku waktu untuk tumbuh. Dan perlahan, menjelma rumah.
Kini saatnya pergi.
Meninggalkan Malang bukan sekadar berkemas dan angkat kaki. Tapi merelakan bagian diri yang tertinggal di warung kopi, di ruang sekretariat organisasi, di piring-piring makan malam yang ramai tawa.
Terima kasih, Malang.