Mohon tunggu...
Bagus Suminar
Bagus Suminar Mohon Tunggu... Wakil Ketua ICMI Orwil Jawa Timur, Dosen UHW Perbanas Surabaya dan Pemerhati SPMI Perguruan Tinggi

Ayah dgn 2 anak dan 1 cucu, memiliki hobi menciptakan lagu anak dan pemerhati manajemen mutu pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Cara Praktis Menerapkan Storytelling untuk Budaya Mutu SPMI

29 April 2025   07:03 Diperbarui: 29 April 2025   07:24 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Dalam dunia perguruan tinggi, pembicaraan tentang mutu sering kali identik dengan istilah teknis, tabel evaluasi, dan dokumen administrasi. Tidak sedikit yang merasa bahwa pembahasan mutu terkesan kering, penuh formalitas, dan jauh dari kehidupan nyata civitas akademika. 

Padahal, membangun budaya mutu yang hidup membutuhkan lebih dari sekadar regulasi dan laporan; ia membutuhkan keterlibatan emosional, rasa memiliki, dan keyakinan bahwa setiap orang berperan dalam perjalanan mutu kampus. Di sinilah storytelling, seni menyampaikan pesan melalui cerita, memainkan peran penting.

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) yang dirancang mengikuti Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 sebenarnya telah memberikan fondasi kokoh untuk memastikan mutu pendidikan tinggi. Melalui siklus PPEPP---Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan---SPMI mendorong kampus untuk terus berbenah dalam semangat kaizen atau perbaikan berkelanjutan. Namun, untuk membuat PPEPP menjadi budaya yang hidup di semua lini, kita perlu mengubah cara berkomunikasi tentang mutu. Salah satu cara paling efektif dan praktis adalah dengan menerapkan storytelling.

Kenapa Harus Bercerita?

Manusia adalah makhluk pencerita secara alami. Sejak ribuan tahun lalu, nilai, norma, dan pengetahuan disampaikan melalui cerita, bukan daftar peraturan. 

Ini sejalan dengan teori komunikasi narrative paradigm oleh Walter Fisher, yang menyatakan bahwa orang lebih percaya dan terhubung secara emosional melalui narasi ketimbang sekadar argumen logis. Dalam konteks budaya mutu, hal ini berarti bahwa penyampaian standar dan capaian mutu akan lebih efektif bila dikaitkan dengan kisah nyata tentang perjuangan, tantangan, dan keberhasilan.

Penting juga untuk memahami dari perspektif psikologi pendidikan, bahwa meaningful learning---pembelajaran yang berkesan dan bertahan lama---terjadi saat informasi dihubungkan dengan pengalaman pribadi atau cerita bermakna. Maka, menyampaikan PPEPP bukan hanya soal mendeskripsikan proses, tetapi menceritakan perjalanan sebuah program studi yang berhasil meningkatkan capaian akreditasi setelah konsisten melakukan evaluasi dan perbaikan. Dengan cara ini, standar tidak hanya dihafalkan, tetapi dihidupi.

Baca juga: Storytelling: Agar Data SPMI Lebih Menginspirasi

Mulai dari Kisah Nyata

Cara paling sederhana menerapkan storytelling dalam penguatan budaya mutu adalah dengan mengangkat kisah nyata di lingkungan kampus. 

Setiap data mutu sebenarnya menyimpan cerita: angka kelulusan yang membaik, hasil tracer study yang menunjukkan kepuasan lulusan, atau perubahan positif setelah audit mutu internal. Cerita-cerita ini harus diangkat dan disampaikan dalam bahasa yang membumi, sehingga dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan merasa bahwa mutu bukan sekadar angka, tetapi bagian dari perjalanan mereka sendiri.

Misalnya, alih-alih hanya mengatakan bahwa tingkat kepuasan mahasiswa meningkat 10%, ceritakan bagaimana perubahan kecil di pelayanan administrasi akademik, hasil dari rekomendasi audit internal, berhasil membuat mahasiswa merasa lebih dihargai dan didukung. Setiap langkah kecil dalam PPEPP bisa dijadikan bahan cerita inspiratif yang menunjukkan bahwa perbaikan mutu bukan sesuatu yang abstrak, melainkan nyata dan berdampak pada kehidupan sehari-hari kampus.

Gunakan Alur yang Menyentuh

Agar storytelling benar-benar efektif, penting untuk memperhatikan alur cerita yang digunakan. Sebuah cerita yang menginspirasi biasanya memiliki elemen tantangan, usaha untuk mengatasi tantangan itu, dan perubahan positif sebagai hasilnya. 

Dalam konteks SPMI, alur ini bisa mengisahkan bagaimana sebuah unit akademik menghadapi temuan ketidaksesuaian dalam audit internal, kemudian bersama-sama merancang strategi perbaikan, dan akhirnya menunjukkan peningkatan signifikan dalam evaluasi berikutnya.

Teori elaboration likelihood model dari Richard Petty dan John Cacioppo mengajarkan bahwa pesan yang disampaikan melalui jalur emosional lebih efektif dalam mempengaruhi sikap dan perilaku audiens. Karena itu, saat menyampaikan data mutu, jangan hanya berfokus pada angka, tetapi bangun kisah di sekeliling data tersebut. Ceritakan siapa yang terlibat, tantangan apa yang dihadapi, dan bagaimana perubahan itu berdampak nyata bagi komunitas kampus.

Baca juga: Mengapa Budaya Mutu Butuh Storytelling?

Integrasikan dalam Kegiatan SPMI

Storytelling bisa dan seharusnya diintegrasikan ke dalam semua aktivitas SPMI, dari sosialisasi standar mutu, rapat tinjauan manajemen, hingga pelatihan auditor internal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun