Dalam suasana seperti ini, mutu kehilangan maknanya sebagai proses belajar kelembagaan.
Padahal dalam filosofi manajemen mutu yang dikembangkan oleh W. Edwards Deming, kualitas adalah hasil dari proses pembelajaran yang terus-menerus. Bukan kepatuhan terhadap indikator, melainkan kesadaran akan tanggung jawab moral untuk memperbaiki proses. Jika kita terlalu sibuk mengisi checklist, kapan kita sempat berkaca dan bertanya: apa yang sebenarnya bisa kita perbaiki?
Baca juga: SPMI Bukan Hanya Urusan LPM: Saatnya Kebijakan SPMI Dibaca Semua Civitas Akademika!
Saatnya Menjadi Cermin
Sistem mutu ideal bukan yang membuat semua kampus terlihat seragam, tetapi yang membantu masing-masing kampus menemukan dirinya sendiri.Â
Dalam hal ini, PPEPP bisa tetap digunakan, tetapi bukan sebagai kerangka wajib. Biarkan kampus memilih kerangka refleksi yang paling sesuai: PDCA, POLC, siklus evaluasi lokal, atau pendekatan berbasis nilai-nilai institusional. Pemerintah cukup memberi prinsip dasar dan tolok ukur hasil. Cara mencapainya, serahkan pada kreativitas dan kebijaksanaan masing-masing institusi.
Rekomendasi semacam ini bukan berarti menolak akuntabilitas. Sebaliknya, justru inilah bentuk tanggung jawab sejati. Karena akuntabilitas terbaik lahir bukan dari pengawasan, melainkan dari rasa memiliki. Dan rasa memiliki hanya tumbuh jika kampus diberi ruang untuk menjadi subyek dalam membangun mutunya sendiri.
Baca juga:Â Mission Differentiation: Rahasia Kampus Kecil Bisa Unggul di Tengah Kompetisi Nasional
Penutup
Saat ini, kita mungkin sedang berdiri di persimpangan: antara terus melanjutkan sistem mutu yang rapi di atas kertas, atau mulai membangun sistem yang sungguh hidup di dalam praktik. Antara mengejar kesempurnaan dokumen, atau mendorong keberanian untuk bertanya dan memperbaiki. Jika kita memilih yang kedua, maka kita harus mulai memperlakukan mutu bukan sebagai checklist, tetapi sebagai cermin. Tempat kita berkaca, mengevaluasi diri, dan bertumbuh.
Karena pada akhirnya, mutu sejati bukan soal seberapa lengkap laporan yang kita buat. Tapi seberapa jujur kita melihat diri sendiri, dan seberapa berani kita mengubahnya. Stay Relevant!
Referensi
- Deming, W. E. (1986). Out of the crisis. MIT Press.
- Denhardt, J. V., & Denhardt, R. B. (2007). The new public service: Serving, not steering. M.E. Sharpe.
- Goetsch, D. L., & Davis, S. B. (2014). Quality management for organizational excellence: Introduction to total quality (7th ed.). Pearson Education.
- Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
- Ministry of Education Singapore. (2006). QAFU: Quality Assurance Framework for Universities.
- OpenAI. (2025). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
- Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
- Quality Assurance Agency for Higher Education (QAA UK). (2022). UK Quality Code for Higher Education.
- Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
- Yukl, G. A. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI