Disclaimer:
“Tulisan ini disusun dalam dua semangat berbeda: pertama, sebagai panduan teknis bagi rekan-rekan kampus yang harus tetap menjalankan regulasi; lihat blog Inspirasi SPMI, kedua, sebagai masukan kritis apabila ruang revisi kebijakan masih terbuka. Kritik bukan berarti menolak mutu, tapi menuntut sistem yang lebih sehat.”
Pendahuluan
Dalam semangat membangun mutu pendidikan tinggi, kita sering kali terlalu fokus pada instrumen dan perangkat, hingga lupa bahwa kualitas sejati lahir dari proses refleksi yang jujur, bukan sekadar pengisian formulir. Hal ini menjadi lebih relevan ketika kita melihat implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di banyak perguruan tinggi yang berjalan sangat teknokratis.
Alih-alih menjadi alat bantu berpikir, SPMI—dengan segala bentuk perangkat dan prosedurnya—kian hari makin menjelma menjadi ritual administratif yang menjauh dari tujuan aslinya.
Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, meskipun lahir dari semangat penyempurnaan dan otonomi, terlihat masih mempertegas kewajiban penggunaan siklus PPEPP dalam sistem mutu. Model ini tentu saja punya logika manajerial yang kuat, tapi dalam praktiknya seringkali diperlakukan sebagai “daftar isian” yang harus dilengkapi. Yang luput adalah ruang bagi refleksi, diskusi, dan penemuan diri yang seharusnya menjadi inti dari perbaikan berkelanjutan.
Baca juga: Mutu yang Tumbuh dari Dalam: Pelajaran Global dan Refleksi atas Permendikbudristek 53/2023
Antara Ketertiban dan Kesadaran
Model PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) pada dasarnya dimaksudkan untuk menciptakan siklus mutu yang berkelanjutan (kaizen). Namun ketika ia diwajibkan sebagai satu-satunya model, tanpa memberi ruang adaptasi terhadap konteks institusi, maka yang terjadi adalah formalisasi.
Di banyak kampus, PPEPP direduksi menjadi laporan tahunan yang harus disetor ke unit mutu, bukan siklus refleksi yang hidup di ruang-ruang akademik.
Di sinilah muncul dilema: ketika sistem mutu berubah menjadi kewajiban administratif, maka yang muncul bukan pembelajaran, melainkan kepatuhan. Bukan perbaikan, melainkan pengulangan. Dalam konteks administrasi publik modern, ini seperti yang dikritisi oleh Denhardt & Denhardt (2007), bahwa peran pemerintah seharusnya bukan lagi menjadi pengendali teknis, melainkan fasilitator proses. Ketika regulasi mendikte cara berpikir, bukan hanya arah, maka kita kehilangan kesempatan untuk membangun kualitas yang tumbuh dari dalam.
Baca juga: Integrasi Nilai-Nilai Mutu: Cara Cerdas Menghidupkan SPMI di Kampus
Mutu Bukan Sekadar Bukti
Praktik di lapangan menunjukkan bahwa banyak dosen, kepala prodi, dan pimpinan fakultas merasa terjebak dalam rutinitas mutu yang terasa dangkal.
Aktivitas seperti audit internal, evaluasi kinerja, atau rapat tinjauan manajemen, kerap dijalankan sebagai kewajiban periodik yang tujuannya adalah menghasilkan dokumen, bukan menciptakan perubahan.