Mohon tunggu...
Bagus Sukma Pradana Putra
Bagus Sukma Pradana Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Jember.

Membaca, bercerita dan berdampak.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesia dalam Simpul Krisis Multidimensi: Saatnya Mengurai dengan Pendekatan Baru

26 April 2025   08:17 Diperbarui: 26 April 2025   08:17 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia bukan hanya negeri yang kaya sumber daya, tapi juga negeri yang sarat kompleksitas. Dari ketimpangan ekonomi yang tak kunjung surut, polarisasi politik yang makin tajam, hingga turunnya kepercayaan terhadap lembaga formal — semua berkelindan menjadi tantangan besar bagi pembangunan nasional. Pertanyaannya, mampukah pendekatan pembangunan kita menjawab masalah-masalah tersebut secara menyeluruh?

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan Gini Ratio Indonesia masih berada di angka 0,388 (per Maret 2023). Ini bukan sekadar angka; ini cerminan nyata dari ketimpangan yang terus membekas. Di kota-kota besar, segelintir elite menikmati pertumbuhan ekonomi, sementara di desa-desa, akses terhadap layanan dasar masih jadi mimpi.

Sayangnya, pembangunan ekonomi yang tidak inklusif justru memperparah ketegangan sosial. Urbanisasi yang melonjak lebih dari 56% pada 2022 belum diimbangi pemerataan infrastruktur. Hasilnya? Muncul migrasi internal besar-besaran tanpa arah yang jelas, dan tumbuhnya ketimpangan antarwilayah.

Di bidang politik, fenomena populisme dan politik identitas kian menguat. Masyarakat lebih percaya pada tokoh karismatik ketimbang institusi seperti partai politik atau parlemen. Survei Edelman (2023) mencatat hanya 51% warga yang percaya pada partai politik, sementara kepercayaan pada tokoh informal dan militer jauh lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa krisis kepercayaan terhadap demokrasi bukan hanya wacana, tapi kenyataan yang mengkhawatirkan.

Lebih dalam lagi, kita sering kali melupakan satu hal penting: bagaimana masyarakat memaknai waktu dan perubahan. Dalam bahasa akademis, ini disebut temporalities — bagaimana rakyat biasa mengalami stagnasi atau ketidakpastian, sementara elite politik dan ekonomi melaju cepat dalam arus globalisasi. Ketimpangan tidak hanya soal materi, tapi juga soal waktu, harapan, dan masa depan yang tidak merata.

Lalu, ke mana arah kita sebagai bangsa?

Sudah saatnya kita meninggalkan pendekatan sektoral yang kaku. Pembangunan Indonesia tidak bisa lagi dipetakan hanya dengan data ekonomi, laporan proyek, atau statistik formal. Kita butuh pendekatan multidimensional yang menggabungkan analisis ekonomi, sosial, politik, dan budaya masyarakat. Bahkan lebih jauh, kita perlu mendengar narasi dari bawah — dari tokoh lokal, dari komunitas adat, dari rakyat biasa yang selama ini luput dari percakapan kebijakan.

Pemerintah dan pembuat kebijakan harus merumuskan program berbasis kepercayaan, bukan hanya anggaran. Kita perlu menjembatani kepercayaan informal di masyarakat dengan sistem formal kenegaraan. Libatkan pemuka agama, tokoh adat, komunitas lokal dalam dialog publik. Bangun kembali kepercayaan bukan lewat slogan, tapi lewat partisipasi.

Jika tidak, kita hanya akan terus berada dalam siklus: ekonomi tumbuh, kepercayaan luntur; pembangunan berlanjut, tapi ketimpangan menganga.

Indonesia adalah negeri yang besar, dan kompleksitasnya bukanlah kutukan. Justru di situlah letak potensinya — asal kita bersedia memahami dan menanganinya dengan pendekatan yang menyeluruh, manusiawi, dan berkeadilan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun