Pernahkah Anda scrolling media sosial sambil menyantap makan malam sederhana, lalu tiba-tiba muncul konten seorang influencer sedang pamer saldo rekening miliaran atau flexing liburan mewah hasil dari 'cuan' saham? Di satu sisi, ada narasi tentang kekayaan instan yang memikat. Di sisi lain, kita yang masih berjuang mengatur keuangan sehari-hari mungkin merasa miris, bukan termotivasi. Apakah semudah itu 'menjual mimpi' di era digital ini?
Ternyata, keresahan kita bersama ini telah sampai ke telinga regulator. Fenomena 'pom-pom' saham dan aset kripto yang sering kali tidak diimbangi dengan edukasi memadai membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya turun tangan. Kini, OJK menyiapkan aturan main baru yang lebih ketat bagi para financial influencer (finfluencer).
Isi POJK 13/2025: Apa Saja Aturan Main Baru OJK untuk Finfluencer?
Untuk menjawab keresahan publik, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara resmi menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 13 Tahun 2025 tentang Pengendalian Internal dan Perilaku Perusahaan Efek. Aturan yang diundangkan pada 11 Juni 2025 dan akan berlaku efektif mulai 11 Desember 2025 ini hadir sebagai respons atas dinamika pasar modal yang semakin kompleks. Lantas, apa saja isi dari aturan main baru ini?
Secara ringkas, POJK ini menetapkan sejumlah kewajiban baru yang lebih ketat, terutama bagi perusahaan efek yang beroperasi sebagai Penjamin Emisi Efek (PEE) dan Perantara Pedagang Efek (PPE). Berikut adalah beberapa poin kuncinya [1][2]:
- Aturan Khusus untuk Finfluencer: Salah satu terobosan utama adalah kewajiban bagi pegiat media sosial atau influencer yang bekerja sama dengan perusahaan efek untuk tujuan promosi. Kini, mereka wajib memiliki izin khusus. Regulasi ini diharapkan dapat menekan praktik 'pom-pom' saham atau aset kripto yang tidak bertanggung jawab.
- Uji Tuntas (Due Diligence) yang Lebih Ketat: Penjamin Emisi Efek (PEE) diwajibkan melakukan uji tuntas secara mendalam terhadap calon emiten sebelum melantai di bursa. Tujuannya adalah memastikan kualitas perusahaan dan meminimalkan potensi konflik kepentingan.
- Penguatan Pengendalian Internal: Perusahaan efek harus memperkuat fungsi pengendalian internal mereka, terutama dalam mengelola risiko terkait penggunaan teknologi informasi.
- Sanksi Administratif: OJK memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif, mulai dari peringatan tertulis, denda, hingga pembatasan kegiatan usaha bagi pihak yang melanggar ketentuan.
Lalu, mengapa aturan ini diterbitkan? Latar belakang utama penerbitan POJK 13/2025 adalah untuk menyesuaikan kerangka regulasi dengan perkembangan pesat di industri pasar modal. Perkembangan teknologi yang masif, meningkatnya kompleksitas produk investasi, dan maraknya penggunaan influencer untuk promosi di media sosial menciptakan area abu-abu yang berisiko merugikan investor. Oleh karena itu, aturan ini dirancang tidak hanya untuk memperkuat perlindungan investor dari praktik manipulasi, tetapi juga untuk menyempurnakan standar tata kelola perusahaan efek agar sejalan dengan praktik industri terkini [2].
Dampak Regulasi Finfluencer
Seperti dua sisi mata uang, kehadiran POJK Nomor 13 Tahun 2025 ini memunculkan optimisme sekaligus skeptisisme. Di satu sisi, regulasi ini adalah angin segar yang telah lama dinantikan, terutama bagi investor ritel yang sering menjadi korban informasi menyesatkan. Aturan ini secara tegas bertujuan memperkuat perlindungan investor dengan mengurangi praktik 'pom-pom' yang tidak bertanggung jawab. Dengan adanya klasifikasi yang jelas antara konten edukasi umum dan rekomendasi investasi, serta kewajiban lisensi bagi pemberi saran, OJK mendorong para kreator untuk menghasilkan konten yang lebih berkualitas, berbasis analisis, dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini adalah langkah besar menuju profesionalisme industri konten finansial, di mana finfluencer kini diakui sebagai bagian dari ekosistem pasar modal dengan jenjang karier dan akuntabilitas yang jelas.
Namun, di sisi lain, implementasi aturan ini bukannya tanpa tantangan. Muncul "zona abu-abu" yang berpotensi menimbulkan masalah baru. Salah satu yang paling krusial adalah batasan tipis antara "konten edukasi" dan "rekomendasi terselubung". Seorang kreator yang menyajikan analisis fundamental mendalam bisa saja dianggap memberi sinyal beli secara tidak langsung, sehingga menciptakan risiko hukum bagi kreator independen yang berniat tulus untuk mengedukasi. Kekhawatiran ini bisa membatasi kebebasan berekspresi dan mengurangi diskusi kritis di ruang publik.
Selain itu, tantangan pengawasan di ranah digital yang sangat luas menjadi PR besar bagi regulator. Memonitor lautan konten di berbagai platform, termasuk yang bersifat temporer seperti Instagram Stories atau di grup tertutup, adalah tugas yang sangat berat. Aturan ini juga berpotensi menjadi hambatan bagi kreator pemula yang mungkin kesulitan memenuhi persyaratan lisensi yang memakan waktu dan biaya, sehingga ekosistem berisiko didominasi oleh pemain-pemain besar.
Konten Finansial: Antara Edukasi Berkualitas dan 'Flexing' Semata?
Peraturan OJK (POJK) Nomor 13 Tahun 2025 menempatkan kita di sebuah persimpangan penting. Di satu sisi, ada harapan besar untuk sebuah ekosistem investasi yang lebih aman, transparan, dan profesional. Investor ritel diharapkan lebih terlindungi dari praktik 'pom-pom' yang merugikan, sementara para finfluencer didorong untuk naik kelas dengan standar yang jelas.
Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa regulasi ini bisa menjadi pedang bermata dua. Aturan yang kaku berisiko membatasi ruang diskusi kritis dan menghambat kreator independen yang tulus berbagi ilmu karena takut terjebak dalam 'zona abu-abu' antara edukasi dan rekomendasi.
Pertanyaannya kembali kepada kita semua, baik sebagai investor, kreator, maupun pengamat. Apakah aturan main baru ini akan menjadi filter efektif yang memisahkan edukasi berkualitas dari flexing semata, atau justru berpotensi mematikan api kreativitas dan independensi di industri finansial digital kita? Bagikan pendapat Anda di kolom komentar