Mohon tunggu...
Bagus Sudewo
Bagus Sudewo Mohon Tunggu... Gen Z | Contributor Writer

Salam Literasi!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Musim Bediding: Cara Mengusir Dingin dengan Kehangatan Sosial & Hygge Indonesia

26 Juni 2025   21:11 Diperbarui: 26 Juni 2025   21:11 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Pexels/Areby Arfiantoo)

Udara belakangan ini menusuk. Jaket sukses menghangatkan tubuh, tetapi mengapa hati masih terasa 'dingin'? Udara dinginnya bukan cuma bikin kita kangen sama selimut, tapi juga kangen sama momen. Entah itu momen kebersamaan di rumah, obrolan random sama teman sampai larut, atau bahkan kangen sama versi diri kita yang dulu.  Kamu udah pakai hoodie favorit, tapi rasa "kangen"-nya nggak hilang-hilang. Kalau kamu lagi merasakan hal yang sama, mungkin yang kamu rindukan itu bukan seseorang atau sebuah tempat, tapi sebuah 'rasa'. Inilah tanda musim bediding meminta kita mencari kehangatan lain.

Ketika Dingin Bukan Cuma Soal Suhu

Oke, jadi kamu sudah pakai jaket paling tebal dan memeluk secangkir cokelat panas. Badanmu sudah nyaman. Tapi, perasaan "dingin" yang ganjil itu masih ada, kan? Di sinilah kita perlu membedah sesuatu yang penting: ada dua jenis kehangatan, dan yang sering kita lupakan justru yang paling kita butuhkan.

Hangat Fisik vs Hangat Sosial

Pertama, ada kehangatan fisik. Ini simpel banget. Seperti yang dijelaskan dalam konsep keperawatan klasik, ini adalah sensasi hangat yang diterima kulit kita dari selimut, api unggun, atau sinar matahari pagi. Tujuannya jelas: membuat tubuh kita nyaman dan berfungsi normal. Kehangatan ini bisa diukur pakai termometer dan akan hilang begitu sumber panasnya dicabut.

Lalu, ada jenis kedua yang sering kali tricky: kehangatan sosial. Ini bukan soal suhu, tapi soal rasa. Menurut psikologi, ini adalah perasaan diterima, dipercaya, dan dipedulikan saat berinteraksi dengan orang lain. Kehangatan ini muncul dari empati teman yang mendengarkan curhatmu sampai tuntas, dukungan keluarga saat kamu lagi down, atau sekadar tawa lepas bareng sahabat. Sumbernya adalah koneksi manusia.

Kehangatan sosial ini nggak bisa diukur pakai termometer, tapi efeknya jauh lebih tahan lama---bisa bertahan lewat ingatan dan rasa percaya.

Sekarang, coba berhenti sejenak dan jujur pada dirimu sendiri: kapan terakhir kali kamu ngobrol mendalam sama teman? Bukan sekadar balas-balasan story, tapi obrolan tatap muka, di mana kalian berdua benar-benar fokus, tanpa ada yang melirik notifikasi setiap lima menit. Kapan terakhir kali kamu merasakan kehangatan semacam itu?

Paradoks Era Digital: Ramai Tapi Dingin

Kalau kamu merasa jeda jawabanmu terlalu lama, kamu nggak sendirian. Inilah ironi hidup kita sebagai generasi digital. Kita terhubung dengan ratusan atau ribuan orang secara online, tapi sering kali merasa lebih "dingin" dan kesepian dari sebelumnya.

Kenapa begitu? Ternyata, otak kita itu canggih. Penelitian menunjukkan bahwa otak memproses rasa "dingin" fisik dan "dingin" sosial (seperti penolakan atau kesepian) di jalur yang tumpang-tindih. Jadi, ketika kita kekurangan kehangatan sosial, otak kita secara naluriah mencari kompensasi lewat kehangatan fisik.

Pernah nggak, setelah hari yang melelahkan secara sosial atau merasa diabaikan, kamu jadi ingin mandi air panas lebih lama? Atau tiba-tiba pengin banget minum yang hangat-hangat? Itu bukan kebetulan. Itu adalah upaya bawah sadar tubuhmu untuk "menghangatkan" perasaan yang terasa dingin karena kurangnya koneksi sosial yang tulus.

Interaksi via layar, meski praktis, sering kali miskin sentuhan, ekspresi, dan energi yang hanya bisa didapat dari pertemuan langsung. Akibatnya, kita bisa terjebak dalam fenomena yang disebut kenopsia: perasaan aneh dan sepi di tengah tempat atau situasi yang seharusnya ramai. Mirip seperti perasaan saat kamu scrolling timeline yang penuh dengan kehidupan orang lain, tapi hatimu sendiri malah terasa kosong dan hampa.

Jadi, ketika bediding datang dan membuatmu merasa kangen akan sesuatu, mungkin itu bukan sekadar sinyal untuk mencari jaket. Mungkin itu adalah alarm dari dalam dirimu yang mengingatkan bahwa ada kehangatan lain yang perlu kamu isi ulang: kehangatan dari sebuah koneksi yang nyata.

(Pexels/Lisa from Pexels)
(Pexels/Lisa from Pexels)
Langit Boleh Bersih, Pikiran Juga Dong

Musim bediding itu unik, ya? Selain hawanya yang dingin menggigit, langitnya juga seringkali terlihat super bersih, biru tua, tanpa awan sedikit pun. Bintang-bintang di langit malam pun jadi terlihat tajam dan jelas banget. Nah, kondisi ini, ternyata bisa jadi metafora sempurna buat kondisi pikiran yang kita idam-idamkan: pikiran yang lapang, jernih, dan tenang .

Langit Jernih, Pikiran Plong

Coba deh bayangkan. Saat bediding, tekanan udara tinggi bikin awan-awan pada bubar. Kelembapan udara juga rendah, jadi nggak ada uap air yang bikin langit kelihatan buram. Hasilnya? Langit plong, bening, dan cakrawala seolah tanpa batas .

Mirip banget sama pikiran kita. Dalam psikologi kognitif, awan itu bisa diibaratkan sebagai segala distraksi, pikiran campur aduk, kekhawatiran, atau informasi berlebihan yang numpuk di kepala kita . Kalau "awan-awan" ini bertebaran, pikiran kita jadi keruh, susah fokus, dan gampang overwhelmed. Tapi, saat "awan" itu hilang, kesadaran kita jadi lapang, bening, dan siap untuk menyerap ide-ide baru atau menyelesaikan masalah dengan lebih jernih .

Udara dingin bediding juga punya efek ajaibnya sendiri. Udara yang sejuk dan kaya oksigen di pagi hari itu bisa meningkatkan aliran darah ke otak kita, bikin kita lebih waspada dan fokus . Sama halnya dengan pemandangan langit yang luas tanpa penghalang; itu bisa bantu otak kita untuk rileks dari fokus yang melelahkan dan beralih ke mode "fasinasi lembut" yang bikin pikiran jadi segar dan bening . Jadi, kalau kamu merasa pikiran kusut atau gelisah, mungkin yang kamu butuhkan bukan cuma selimut, tapi juga "langit" yang cerah di kepalamu.

Kapan Waktunya "Bersih-Bersih" Pikiran?

Sama seperti rumah yang perlu dirapikan secara berkala, pikiran kita juga butuh sesi mental decluttering. Ini artinya, kita membersihkan "ruang" kognitif kita dari pikiran, tugas, atau informasi yang nggak penting biar kita bisa lebih konsentrasi dan emosi jadi lebih lega.

Kapan sih momen paling pas buat mental declutter ini? Ada beberapa waktu emas yang bisa kamu manfaatkan:

Pagi Hari: Ini prime time banget! Gangguan masih minimal, jadi kamu bisa brain-dump atau menulis apa pun yang ada di pikiranmu selama 5-10 menit. Ini cara ampuh untuk memulai hari dengan pikiran yang bersih dan lapang.

Sebelum Tidur: Kalau kamu sering susah tidur karena pikiran muter-muter, coba deh tuangkan semua kekhawatiran atau daftar hal yang perlu kamu lakukan besok ke kertas atau aplikasi. Ini bantu otakmu untuk "menutup tab" dan kamu bisa tidur lebih nyenyak .

Akhir Pekan: Waktu luang di weekend itu kesempatan emas. Banyak orang memanfaatkan Sabtu/Minggu untuk merapikan rumah sekaligus pikiran, karena ritmenya lebih santai dan nggak terburu-buru.

Intinya, mental decluttering itu paling efektif kalau jadi kebiasaan kecil yang konsisten, bukan proyek besar yang justru bikin kamu tambah beban.

3 Jurus Jitu Mental Declutter yang Bisa Langsung Dicoba

Gimana, siap membersihkan "langit" di pikiranmu? Ini ada tiga ide praktis yang bisa langsung kamu coba dari sekarang, tanpa perlu nunggu besok:

Brain-dump 5 Menit: Ambil kertas dan pulpen, atau buka aplikasi catatan di smartphone-mu. Tulis aja apa pun yang terlintas di pikiranmu. Nggak perlu urut, nggak perlu mikir tata bahasa. Pokoknya, keluarin semua tugas, kekhawatiran, ide-ide acak, atau apa pun yang bikin kepala penuh. Tujuannya cuma satu: "mengosongkan RAM" pikiranmu biar plong .

Pilih Tiga Prioritas Harian: Setelah kamu punya daftar brain-dump yang panjang, coba deh saring. Dari semua hal itu, pilih maksimal tiga fokus utama yang benar-benar harus kamu selesaikan hari ini. Sisanya? Bisa kamu tunda untuk besok atau kapan-kapan. Membatasi prioritas ini akan mencegah cognitive overload dan bikin kamu lebih fokus .

Detoks Digital Mikro: Ini penting banget buat kita yang hidup di era digital. Coba deh un-subscribe email promosi yang nggak penting, mute grup WhatsApp atau Telegram yang cuma bikin noise, dan matikan notifikasi aplikasi yang nggak esensial. Dengan memangkas stimulus berlebih ini, kamu akan langsung merasakan ruang mental yang lebih lega .

Coba deh mulai dengan satu atau dua ide di atas hari ini. Rasakan sendiri manfaatnya, dan kalau udah kerasa enaknya, jadikan kebiasaan harian. Dengan begitu, "ruang penyimpanan" mentalmu akan selalu lapang, dan pikiranmu akan sejernih langit bediding yang tanpa awan!

(Pexels/Betl Gne)
(Pexels/Betl Gne)
Nggak Perlu ke Denmark, Kita Juga Punya 'Hygge'

Kamu pernah denger istilah Hygge? (dibaca "hoo-gah"). Ini adalah filosofi hidup asal Denmark-Norwegia yang sebenarnya sederhana tapi powerful banget. Intinya, Hygge itu tentang menciptakan suasana yang nyaman, akrab, dan menenteramkan sehingga bikin kamu merasa puas dan bahagia dari hal-hal kecil sehari-hari. Bisa dari ngobrol santai sama sahabat, menyeruput cokelat panas di sudut rumah dengan lampu lilin yang temaram, sampai sekadar menikmati waktu tanpa distraksi gadget. Jadi, Hygge bukan cuma soal fisik cozy, tapi juga kehangatan emosional dan kebersamaan yang bikin hidup terasa lebih bermakna.

Hygge ala Indonesia

Tapi, ya, Indonesia itu beda banget sama Denmark. Kita nggak punya musim dingin yang bikin perlu lilin dan perapian. Tapi bukan berarti kita nggak bisa punya Hygge versi sendiri. Justru, budaya dan iklim tropis kita punya cara unik untuk menghadirkan kehangatan dan kenyamanan ala Hygge.

Misalnya, pencahayaan hangat bisa diganti dengan lampu bohlam kuning atau lampu minyak sereh yang aromanya bikin rileks. Sarung batik, kain tenun, atau tikar pandan bisa jadi tekstur lembut yang bikin suasana makin cozy. Saat hujan turun, kamu bisa nikmati wedang jahe, bandrek, atau bakso kuah hangat sambil ngobrol santai di teras rumah. Kebersamaan juga terasa lewat tradisi gotong royong, kerja bakti kampung, atau kumpul keluarga lesehan sambil main congklak atau ular tangga tanpa gangguan ponsel. Intinya, Hygge versi kita adalah menikmati momen sederhana yang penuh kehangatan dan keakraban, tanpa ribet dan tetap dekat dengan budaya lokal.

Checklist Hygge ala Anak Indonesia

Biar kamu nggak cuma tahu teori tapi juga bisa langsung praktik, ini ada checklist simpel yang bisa kamu coba untuk menciptakan suasana Hygge ala anak Indonesia:

Matikan lampu neon, nyalakan lampu bohlam kuning atau lilin aromaterapi sereh untuk pencahayaan lembut
Siapkan pojok nyaman di teras atau ruang keluarga dengan bantal batik, sarung, dan lampu meja redup
Gelar tikar pandan atau tikar rotan, tambahkan selimut tipis untuk lesehan keluarga atau teman
Sajikan minuman hangat seperti wedang jahe, bandrek, atau cokelat panas saat hujan atau malam hari
Hidangkan camilan comfort food seperti pisang goreng, bubur kacang hijau, atau bakso kuah
Masak bersama sup soto, sayur asem, atau makanan rumahan yang prosesnya lama dan nikmati aromanya
Terapkan zona bebas gadget 1--2 jam saat kumpul, simpan ponsel di kotak khusus supaya fokus ngobrol dan main game tradisional
Main congklak, ular tangga, kartu remi, atau board game sederhana bareng keluarga dan teman
Bercerita folklore Nusantara atau baca buku bersama di pojok nyaman
Nikmati suasana hujan sambil lesehan ngobrol di teras dengan suara rintik sebagai latar alami
Adakan movie night keluarga dengan alas selimut dan bantal di lantai
Kerja bakti mini seperti merapikan kamar atau menanam bibit tanaman bareng-bareng
Letakkan tanaman hias seperti sirih gading atau monstera di ruang kumpul untuk sentuhan alam tropis
Buka jendela saat hujan agar udara segar dan aroma petrichor masuk ke dalam rumah
Pakai pakaian nyaman seperti kaos oblong longgar, sarung, atau cardigan tipis favorit
Tulis tiga hal kecil yang kamu syukuri sebelum tidur untuk menguatkan rasa puas

Dengan cara-cara ini, kamu bisa merasakan Hygge tanpa harus jauh-jauh ke Denmark. Intinya, Hygge itu soal menciptakan ruang yang nyaman, akrab, dan penuh kehangatan yang sebenarnya sudah ada di sekitar kita, tinggal bagaimana kamu menghidupkannya. Yuk, mulai praktikkan dan rasakan sendiri bedanya!

(Pexles/Rahmad Himawan)
(Pexles/Rahmad Himawan)
Gimana? Setelah "bedah" habis-habisan tentang si bediding ini, sekarang kamu udah punya gambaran yang lebih jernih, kan? Ternyata, dingin yang kamu rasakan itu nggak cuma soal suhu di luar sana. Kadang, itu cuma sinyal dari pikiran atau hati yang lagi minta diperhatikan.

Mungkin kamu kangen obrolan yang dalam, tanpa gangguan notifikasi. Atau mungkin, otakmu lagi butuh space buat bernapas dari segala informasi yang numpuk. Dan yang paling penting, mungkin kamu cuma butuh sedikit sentuhan kehangatan ala Hygge yang sederhana, tapi bikin hati adem.

Intinya, kamu nggak perlu nunggu ke Denmark, atau nunggu suhu tertentu, buat bisa merasakan ketenangan dan kebahagiaan. Keduanya itu available banget, kok, di sekeliling kita. Tinggal bagaimana kita mau sedikit lebih peka, dan berani meluangkan waktu untuk diri sendiri atau orang-orang terdekat.

Mulai dari merapikan pikiran, mencari kehangatan dari koneksi yang tulus, sampai menciptakan Hygge versi kamu sendiri. Semua itu adalah investasi kecil yang hasilnya bisa bikin kamu jadi pribadi yang lebih tenang, lebih bahagia, dan pastinya, lebih siap menghadapi apa pun.

Ternyata, menciptakan momen 'bahagia' itu nggak rumit, ya. Cukup dari hal-hal kecil di sekitar kita. Kalau kamu, 'Hygge' ala Indonesia versi kamu kayak gimana? Atau momen 'dingin yang bikin kangen' versi kamu paling sering datang pas lagi apa? Coba share di kolom komentar, dong! Siapa tahu bisa jadi inspirasi buat teman-teman yang lain!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun