UNGARAN BARAT -- Upaya menciptakan lingkungan masyarakat yang aman dan nyaman tidak dapat dilepaskan dari peran generasi muda. Berangkat dari kesadaran tersebut, tim dari Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Negeri Semarang menggelar kegiatan pengabdian kepada masyarakat bertajuk "Penguatan Karakter Cinta Damai bagi Generasi Muda dalam Mewujudkan Lingkungan Aman dan Nyaman". Kegiatan ini dilaksanakan pada Sabtu, 20 Juli 2025 di Balai Desa Gogik, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Ungaran.
Sasaran utama kegiatan adalah para pemuda Desa Gogik yang tergabung dalam Karang Taruna, pelajar tingkat SMA, serta mahasiswa setempat. Mereka diajak untuk memahami pentingnya nilai cinta damai sebagai fondasi dalam menjaga keharmonisan kehidupan bermasyarakat.
Kegiatan ini berangkat dari keprihatinan terhadap gejala sosial yang muncul di masyarakat, seperti konflik antar remaja, intoleransi, hingga sikap apatis terhadap lingkungan sosial. Fenomena ini dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas sosial dan nilai-nilai gotong royong di tengah masyarakat desa.
Kegiatan dimulai dengan sambutan dari tim pengabdian yang menekankan pentingnya pendidikan karakter sejak dini. "Membangun budaya damai tidak bisa hanya melalui aturan atau penegakan hukum. Fondasi terpenting adalah pembentukan karakter yang dimulai dari individu, khususnya generasi muda," ujar Tutik Wijayanti, S.Pd., M.Pd, dosen sekaligus narasumber utama dalam kegiatan tersebut.
Melalui pendekatan partisipatif, para peserta tidak hanya mendengarkan materi, tetapi juga dilibatkan dalam diskusi interaktif. Dalam sesi tersebut, peserta diajak mengenali bentuk-bentuk konflik sosial yang pernah terjadi di sekitar mereka, lalu diminta untuk merumuskan solusi berbasis nilai-nilai damai, seperti toleransi, empati, dan dialog.
Rangkaian kegiatan semakin menarik dengan adanya metode pembelajaran aktif seperti simulasi penyelesaian konflik, permainan peran, hingga pemutaran video pendek bertema perdamaian. Tujuannya adalah menciptakan suasana santai namun bermakna, agar peserta merasa nyaman dan aktif berpartisipasi.
Hasilnya, muncul berbagai ide kreatif dari para peserta. Beberapa di antaranya adalah pembentukan Forum Remaja Cinta Damai, kampanye toleransi melalui media sosial, serta pemanfaatan seni dan budaya sebagai wadah ekspresi damai dan inklusif.
"Cinta damai bukan sekadar tidak berkonflik, tapi juga tentang bagaimana kita menjaga keharmonisan dalam keberagaman. Pemuda harus menjadi agen perubahan yang mampu menjadi penengah dan pemersatu," lanjut Tutik dalam paparannya.
Kegiatan ini dinilai selaras dengan konsep modal sosial (social capital) sebagaimana disampaikan oleh Robert Putnam, yaitu kepercayaan, norma, dan jaringan sosial yang memungkinkan kolaborasi antarwarga demi kebaikan bersama. Dalam hal ini, penguatan karakter cinta damai menjadi investasi jangka panjang dalam membentuk masyarakat desa yang inklusif dan solid.