Indonesia selama ini cenderung menerapkan sistem pemidanaan yang represif dengan mengedepankan pemenjaraan sebagai solusi utama bagi pelaku tindak pidana. Padahal, dalam konteks penologi modern, fungsi pemidanaan tidak hanya bersifat retributif, tetapi juga preventif dan rehabilitatif.
Pendekatan rehabilitatif---terutama bagi pelaku kejahatan ringan, anak, atau pecandu narkotika---seharusnya menjadi prioritas. Sayangnya, sistem peradilan pidana kita belum sepenuhnya mengakomodasi paradigma ini. Lembaga pemasyarakatan yang seharusnya menjadi tempat pembinaan justru menjadi tempat reproduksi kejahatan karena over kapasitas dan minimnya program reintegrasi sosial.
Penologi, sebagai cabang ilmu yang mengkaji sistem pemidanaan, menawarkan solusi melalui pengembangan alternatif pemidanaan, seperti kerja sosial, pidana bersyarat, atau restorative justice. Alternatif ini telah diterapkan di berbagai negara dan terbukti lebih efektif menekan angka residivisme.
Revisi UU Pemasyarakatan serta perluasan implementasi restorative justice yang dilakukan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung menjadi langkah awal. Namun, perubahan paradigma pemidanaan juga harus diikuti dengan perubahan pola pikir aparat penegak hukum dan masyarakat.
Sudah saatnya Indonesia berhenti melihat penjara sebagai solusi tunggal. Pendekatan humanis dalam pemidanaan bukan berarti lunak terhadap kejahatan, melainkan bentuk keadilan yang sejati bagi pelaku, korban, dan masyarakat secara luas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI