Kita ada hari ini tidak bisa terlepas dari orang-orang terdahulu dari kita. Secara personal, kita lahir  ke dunia ini hasil hubungan suami isteri (sepasang laki-laki dengan perempuan) yang disebut ayah dan ibu. Begitu pula, ayah dan ibu, keduanya terlahir dari sepasang ayah dan ibu juga yang kita sebut kakek nenek. Begitulah seterusnya. Sesuai dengan siklus kehidupan, bermula dari janin di dalam kandungan ibu, lahir ke dunia menjadi bayi. Dari bayi menjadi anak-anak, remaja, dewasa sampai tua dan wafat. Sebagian ada yang tidak sampai berusia lanjut/tua, sudah wafat. Mereka yang sudah meninggal dunia, berarti sudah menjadi orang-orang terdahulu dari kehidupan kita ini.
Apa yang kita terima dan saksikan hari ini, tentu tidak bisa kita lepaskan dari apa  yang sudah dilakukan para pendahulu kita. Baik secara personal, kehidupan bermasyarakat maupun bernegara dan berbangsa. Apa yang diperoleh  oleh seseorang saat ini juga merupakan andil dan jasa dari pendahulunya. Bahkan di ranah Minang dikenal dengan pusako tinggi yang sudah diterima turun temurun. Artinya, pusako tersebut didapatkan bukanlah atas jerih payah dan banting keringat mendapatkannya. Mereka yang memanfaat-kannya sekarang tinggal menikmati hasil dari pusako tersebut. Mereka tidak merasakan bagaimana susahnya mendapatkan pusako tersebut oleh para pendahulunya (nenek moyangnya). Malah tidak sedikit mengalih-fungsikan, menjual, menggadaikan, hingga membabat tanaman tanpa menggantinya dengan bibit baru. Termasuk berkonflik diantara keluarga memperebutkan harta yang tidak pernah diperolehnya dengan usaha sedikitpun.Â
Begitu pula dengan negeri ini yang bernama Indonesia. Melahirkan Negara Indonesia ini bukanlah dengan pidato-pidato saja, atau melalui serahterima dari penguasa kolonial asing (Jepang dan Belanda). Tapi negeri ini dilahirkan dan dipertahankan dengan banjir darah para syuhada yang bertempur di medan perang. Mereka mengorbankan nyawa, harta dan segenap jiwa raga. Begitu pula para pendahulu yang sudah berjuang dan berjasa di tingkat yang lebih lokal maupun regional. Mereka sudah berbuat untuk daerahnya sesuai dengan zamannya.Â
 Lantas bagaimanakah generasi sekarang memperlakukan para pendahulunya? Masihkah mereka dikenang atau sengaja dilupakan dalam ingatan masyarakatnya. Agaknya kita pantas belajar bagaimana memperlakukan para pendahulu ini dari sikap Khalifah Umar bin Khatab.
Sebagaimana dikisahkan, "Suatu ketika, ada beberapa orang mengatakan kepada Umar bin Al-Khatab, "Kami tidak pernah melihat orang yang lebih adil, orang lebih berkata benar, dan orang yang lebih keras terhadap orang munafik daripada Anda, wahai Amirul Mukminin. Anda adalah sebaik-baik manusia sesudah Rasulullah."
Auf bin Malik berkomentar, "Demi Allah, kalian telah berdusta. Kami melihat orang terbaik sesudah Rasulullah." "Siapa dia?" Tanya salah seorang diantara mereka. "Abu Bakar Ash-Shiddiq", jawab Auf bin Malik. Umar berkata, "Benar apa yang dikatakan Auf bin Malik dan kalian telah berdusta. Demi Allah, Abu Bakar sungguh lebih harum dari aroma parfum dan aku lebih sesat dari unta -- yakni sebelum Umar masuk Islam." Mengapa demikian? Karena Abu Bakar telah masuk Islam enam tahun sebelum Umar masuk Islam.
Kisah ini menunjukan sikap rendah hati Umar dan penghormatannya terhadap orang-orang yang paling utama. Ia tidak hanya menghormati orang-orang yang masih hidup di antara mereka, tapi ia juga menghormati orang yang sudah tiada. Ia tidak rela keutamaan mereka diingkari dan jasa mereka dilupakan. Ia senantiasa menyebut-nyebut kebaikan mereka di setiap momentum, dan mengajak publik untuk menghormati dan tidak melupakan karya-karya agung yang telah mereka persembahkan. Karenanya, karya yang bermanfaat akan selalu diingat dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karya yang baik tidak akan dilupakan karena kepergian atau meninggalnya si pemilik karya.
Adalah Umar orang yang tidak rela melupakan keutamaan para pendahulunya. Ia tidak rela keutamaan-keutamaan mereka dilupakan publik. Bangsa yang melupakan jasa-jasa orang-orang yang mengabdi kepada mereka adalah bangsa yang akan terjerumus ke dalam jurang kehancuran. Kisah ini ditulis kembali oleh Dr. Ali Muhammad  Ash-Shalabi dalam bukunya, Syakhsiyatu Umar wa Aruhu.
Negara Indonesia melalui Keputusan Presiden (Keppres) Joko Widodo mengeluarkan keputusan penetapan Hari Santri Nasional pada 22 Oktober. Keppers Nomor 22 Tahun 2015 tentang penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional ditandatangani Jokowi pada  15 Oktober 2015. Ini artinya Negara mengakui apa yang sudah disumbangkan para pendahulu bangsa ini. Mereka, para santri, kiai, ulama dan pimpinan pondok pesantren  yang menjadi tulang punggung dalam melahirkan dan mempertahankan eksistensi NKRI. Penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, karena pada tanggal 22 Oktober 1945 dicetuskan Resolusi Jihad. Resolusi Jihad yang lahir melalui musyawarah ratusan kiai dari berbagai daerah tersebut merespons agresi Belanda kedua. Resolusi itu memuat seruan bahwa setiap Muslim wajib memerangi penjajah. Para pejuang yang gugur dalam peperangan melawan penjajah pun dianggap mati syahid.
 Penetapan Hari Santri ini juga merupakan janji Presiden Joko Widodo saat kampanye kepada kalangan pesantren. Penetapan ini merupakan pengakuan jujur negara terhadap peran santri, dalam hal ini pesantren di pentas nasional. Walaupun ada pihak yang merasa terusik dengan adanya penetapan ini. Sebagai negara demokrasi, hal itu dianggap biasa.