Yakin, kita ingin menghamburkan ikan utuh hanya karena kita sudah "terlalu kenyang karena kebanyakan mengambil lauk?"
Dari Kandang dan Ladang
Di pinggir desa, para peternak ayam dan sapi menjaga hewan-hewan mereka dengan kesabaran yang luar biasa. Setiap pagi mereka membersihkan kandang, memberi makan, dan memastikan hewan-hewan tetap sehat. Tidak banyak yang tahu bahwa satu peternak kecil bisa mengurus lebih dari dua ratus ekor ayam hanya dengan bantuan keluarga.
Peternakan kecil seperti ini menopang hampir 70 persen pasokan protein hewani domestik (Kementan, 2023). Akan tetapi, mereka sering hidup di antara harga pakan yang terus naik dan harga jual yang tidak menentu. Tanpa mereka, kita tidak akan memiliki telur rebus di meja sarapan atau segelas susu hangat untuk anak-anak.
Yakin kita menghamburkan daging atau tidak menghabiskan steak karena kita karena kekenyangan? Memangnya kita mau repot membersihkan kotoran sapi, kambing, atau domba setiap hari? Memangnya kita mau membersihkan hewan ternak itu supaya kita bisa mengonsumsi daging dengan nyaman dan enak?
Pasar: Ruang Hidup yang Menghubungkan Semuanya
Semua hasil kerja itu akhirnya bertemu di satu tempat, yaitu pasar tradisional. Pasar bukan hanya ruang ekonomi, tetapi juga ruang sosial di mana gizi berpindah tangan dari produsen ke masyarakat. Di situlah kita melihat rantai kehidupan berjalan dalam bentuk paling jujur: tawar-menawar, tawa, dan aroma bahan makanan segar.
Di pasar, seorang ibu bisa memberi makan keluarganya dengan uang dua puluh ribu rupiah. Ia bisa membeli sayur, tahu, ikan kecil, dan nasi untuk semua anggota keluarga. Setiap transaksi kecil itu, tanpa kita sadari, menjaga sistem pangan nasional agar tetap hidup dan berdenyut.
Di dalamnya, kita bisa mendapatkan banyak informasi yang berharga. Dari mana sumber sayurannya, peternakannya, sumber nelayannya, dan apa pun itu.
Di Balik Piring, Ada Dunia yang Bekerja
Ketika makanan sampai ke piring kita, rantai panjang itu sudah menyelesaikan perjalanannya. Dari tangan petani, nelayan, peternak, pedagang, hingga juru masak di rumah, semuanya berperan menjaga kehidupan tetap berjalan.
Namun dunia modern sering memutus hubungan antara kita dan mereka. Kita lebih mengenal merek produk dibanding asal bahan makanan. Kita tahu harga daging naik, tetapi tidak tahu betapa sulitnya peternak bertahan saat pakan melonjak. Kita tahu ikan enak, tetapi tidak tahu nelayan harus berlayar empat jam hanya untuk membawa dua keranjang hasil tangkapan.
Setiap sendok nasi sebenarnya adalah hasil gotong royong dari banyak tangan yang mungkin tidak pernah makan di meja kita, tetapi selalu memastikan kita tidak kelaparan.
Mengembalikan Nilai Hidup di Meja Makan
Mungkin sudah saatnya kita makan dengan kesadaran yang lebih dalam. Makan bukan hanya soal menghitung kalori atau menilai harga, tetapi tentang menghargai kehidupan yang melahirkan makanan itu. Ketika kita memandang piring, kita sebenarnya sedang melihat wajah-wajah yang tak terlihat: petani, nelayan, peternak, dan para ibu pasar yang bekerja setiap hari agar hidup terus berjalan.