Mohon tunggu...
Bagas Kurniawan
Bagas Kurniawan Mohon Tunggu... Biotechnologist and Food Technologist

Konsultan Manajemen Mutu dan Keamanan Pangan. Penulis Artikel. Berbagi ilmu dengan cara santai. Blog pribadi: https://www.nextgenbiological.com/ Email: cristanto.bagas@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Saatnya Menghargai Cita Rasa Nusantara Melalui Program MBG

2 Oktober 2025   08:41 Diperbarui: 2 Oktober 2025   08:53 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pangan Lokal | Sumber gambar: Yuannita Steila/unsplash.com

Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) hadir sebagai kebijakan ambisius untuk meningkatkan status gizi anak Indonesia. Setiap anak sekolah berhak memperoleh makanan sehat, bergizi, dan aman, sehingga dapat tumbuh menjadi generasi cerdas dan produktif. Namun, di balik semangat besar ini, muncul satu tantangan yang jarang dibicarakan, yaitu penerimaan makanan lokal.

Meskipun kita bisa bilang bahwa kita memiliki beberapa makanan lokal yang dapat diterima secara menyeluruh misalnya seperti rendang, tapi ketanyaannya, tidak semua makanan cocok di setiap wilayah. Contohnya, gudeg (makanan khas Yogyakarta yang bercita rasa manis) bisa jadi kurang disukai oleh anak-anak di Manado yang terbiasa dengan makanan bercita rasa asin dan pedas. Begitu pula sebaliknya, hidangan khas Manado seperti bubur Manado (tinutuan) atau papeda belum tentu disukai oleh anak-anak di Jawa.

Jika BGN berupaya menyeragamkan menu MBG secara nasional, risiko terbesarnya adalah makanan tidak dimakan alias terbuang. Inilah titik krusialnya dan menimbulkan sebuah isu bahwa, bagaimana MBG bisa memberi dampak optimal bila menu yang disajikan tidak diterima anak-anak?

Pangan Lokal dan Konsep Penerimaan Makanan

Dalam ilmu gizi masyarakat, ada istilah food acceptance (penerimaan makanan) dan food preference (preferensi makanan). Menurut Drewnowski (1997), penerimaan makanan sangat dipengaruhi oleh pengalaman budaya, kebiasaan keluarga, dan eksposur sejak kecil. Artinya, makanan yang terasa nikmat bagi satu kelompok belum tentu disukai kelompok lain.

WHO (2003) juga menekankan bahwa intervensi gizi harus memperhatikan budaya pangan lokal. Bila tidak sesuai dengan preferensi masyarakat, program pangan berisiko gagal karena makanan tidak dimakan. Hal ini relevan untuk MBG: keberhasilan program bukan hanya soal kandungan gizi, tapi juga soal apakah anak-anak mau menghabiskannya.

Contoh Kasus Perbedaan Cita Rasa

Gudeg adalah contoh nyata. Bagi masyarakat Yogyakarta, rasa manis pada gudeg adalah ciri khas yang menyenangkan. Namun, bagi lidah yang terbiasa asin-pedas, gudeg bisa terasa "aneh." Demikian juga, papeda yang kental dan kenyal bisa jadi sulit diterima oleh anak-anak di Jawa yang terbiasa dengan nasi.

Bukan berarti makanan ini tidak sehat. Justru keduanya kaya gizi: gudeg dengan protein nabati dari nangka muda dan tempe, papeda dengan karbohidrat dari sagu yang rendah glikemik. Namun, perbedaan budaya rasa membuatnya tidak bisa begitu saja dijadikan menu MBG lintas daerah.

Munculnya Risiko Kemubaziran Makanan

Food waste adalah isu serius. FAO (2019) melaporkan bahwa sekitar sepertiga makanan di dunia terbuang sia-sia, termasuk akibat rendahnya penerimaan konsumen. Bila menu MBG dipaksakan seragam tanpa memperhatikan selera lokal, potensi terjadinya food waste di sekolah sangat tinggi.

Hal ini tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga bertentangan dengan prinsip keberlanjutan. Bagaimana mungkin program dengan anggaran besar justru menghasilkan makanan yang tidak dimakan?

Solusinya, BGN tidak perlu mengatur detail menu MBG hingga ke tingkat resep. Tugas utama BGN adalah menetapkan standar gizi seimbang dan keamanan pangan. Biarkan SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) di setiap daerah yang menentukan menu sesuai dengan kearifan lokal.

Dengan cara ini:

  1. Menu sesuai selera lokal Anak-anak lebih mudah menerima dan menghabiskan makanan.

  2. Mengurangi food waste Karena makanan sesuai preferensi, risiko terbuang lebih kecil.

  3. Memberdayakan pangan lokal Petani dan nelayan setempat ikut diuntungkan karena bahan diambil dari lingkungan sekitar.

  4. Menguatkan identitas budaya Anak-anak belajar mencintai makanan khas daerahnya sendiri.

Pentingnya Pangan Lokal

Sejumlah penelitian mendukung konsep ini. Sebuah studi di Tanzania menunjukkan bahwa intervensi gizi berbasis makanan lokal meningkatkan konsumsi anak hingga 30% dibanding intervensi berbasis makanan impor (Kulwa et al., 2014).

Di Indonesia, penelitian Hardinsyah (2017) juga menegaskan bahwa keberhasilan program gizi masyarakat dipengaruhi oleh sejauh mana makanan yang diberikan sesuai dengan budaya dan preferensi lokal.

Dengan kata lain, pangan lokal bukan hanya soal cita rasa, tapi juga kunci keberhasilan program intervensi gizi.

Lalu, bagaimana implementasinya? Berikut ini beberapa rekomendasi praktisnya, antara lain:

  • Sekolah di Jawa bisa menyediakan menu seperti nasi, sayur sop, tempe, dan buah pisang.

  • Sekolah di Sulawesi bisa menyajikan bubur Manado dengan ikan dan sayur.

  • Sekolah di Papua bisa menggunakan papeda dengan kuah ikan sebagai menu utama.

Semua menu ini memenuhi syarat gizi, tetapi tetap sesuai budaya lokal. Standar gizi tetap dijaga, namun penerimaan makanan lebih tinggi. Selain itu, dengan pendekatan ini, kita bisa mengajarkan anak-anak untuk mulai mencintai pangan lokal mereka dan melestarikan resep-resep peninggalan nusantara. 

Secara tidak langsung, program MBG ini juga bisa sebagai upaya untuk melestarikan budaya lokal melalui jalur gastronomi (pangan).

Kesimpulan

Program MBG tidak cukup hanya memastikan makanan bergizi dan aman. Keberhasilan program juga sangat ditentukan oleh penerimaan anak-anak terhadap makanan yang disajikan. Oleh karena itu, BGN sebaiknya tidak repot menyeragamkan menu secara nasional.

Biarkan SPPG lokal menentukan menu sesuai kearifan lokal, sementara BGN menetapkan standar gizi dan keamanan pangan. Dengan begitu, MBG bisa benar-benar efektif, mengurangi food waste, memberdayakan pangan lokal, melestarikan budaya lokal, dan membangun kebanggaan anak-anak terhadap makanan daerahnya sendiri.

Daftar Pustaka

  • Drewnowski, A. (1997). Taste preferences and food intake. Annual Review of Nutrition, 17, 237--253. https://doi.org/10.1146/annurev.nutr.17.1.237
  • FAO. (2019). The State of Food and Agriculture 2019: Moving forward on food loss and waste reduction. Food and Agriculture Organization of the United Nations.
  • Hardinsyah. (2017). Pangan dan gizi dalam pembangunan manusia Indonesia. Jurnal Gizi dan Pangan, 12(1), 1--12.
  • Kulwa, K., Mamiro, P., Modest, B., & Msuya, J. (2014). Local food-based approaches to improve nutrition and health in Tanzania: A review. African Journal of Food, Agriculture, Nutrition and Development, 14(7), 9189--9205.
  • World Health Organization. (2003). Diet, nutrition and the prevention of chronic diseases. WHO Technical Report Series 916.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun